REPUBLIKA.CO.ID, SAO PAOLO -- Tujuh hari jelang laga perdana Piala Dunia 2014, 12 Juni waktu setempat, Pemerintah Brasil justru terus mendapat ancaman aksi menentang gelaran Piala Dunia 2014. Kali ini, giliran Serikat Pekerja Tranportasi Sao Paolo yang bakal mengancam melakukan mogok besar-besaran.
Rencananya, para pekerja dan staff di Sao Paolo Metro ini akan memulai aksi mogok mereka pada Kamis (6/6) tengah malam waktu setempat. Aksi ini merupakan lanjutan dari bentuk protes mereka terhadap gelaran Piala Dunia 2014 di Brasil.
Selain dianggap belum siap lantaran keterlambatan pembangunan sejumlah infrastruktur, pemerintah Brasil juga dinilai menghabiskan dana terlalu besar demi bisa menyiapkan gelaran Piala Dunia 2014, yang diperkirakan menghabiskan dana sebesar 11 miliar dolar AS atau sekira Rp 130 triliun.
Pemerintah Brasil dianggap gagal dalam memberikan kesejahteraan pada warganya. Negosiasi kenaikan gaji para pekerja Sao Paolo Metro pun tidak kunjung mencapai kata sepakat. Pemerintah Brasil hanya setuju menaikan gaji pekerja Sao Paolo Metro sebesar 8,5 persen, sedangkan Serikat Pekerja Sao Paolo Metro berharap bisa mendapatkan kenaikan gaji sebesar 10 persen.
''Jika mereka (Pemerintah Brasil) memiliki uang yang cukup untuk Itaquero (nama julukan Stadion Corinthians Arena di Sao Paolo) dan Piala Dunia, bagaimana bisa mereka tidak memiliki uang untuk bisa memperbaiki kualitas tranportasi publik?,'' kata Presiden Serikat Pekerja Sao Paolo Metro kepada O Estado de Sao Paulo, seperti dikutip Al Jazeera, Kamis (5/6).
Ancaman mogok yang bakal dihadiri ribuan pekerja ini jelas menjadi ancaman tersendiri buat Pemerintah Brasil, khususnya panitia Piala Dunia 2014. Terganggunya distribusi logistik dan arus pergerakan fans dan supporter tim-tim negara peserta menjadi konsekuensi logis atas ancaman mogok ini.
Maklum, Sao Paolo Metro adalah jaringan transportasi massal terbesar di kota yang didiami sekitar 20 juta orang tersebut. Dalam sehari, paling tidak, Sao Paolo Metro mampu menggangkut 4,5 juta orang. Ancaman mogok ini juga berpotensi melumpuhkan sistem transportasi di Sao Paolo secara keseluruhan.