Rabu , 11 Jun 2014, 16:01 WIB

Pesta Piala Dunia Ala Favela

Red: Didi Purwadi
Stadion Maracana terlihat di belakang Favela di Rio de Janeiro, Brasil, Ahad (8/6).
Foto Reuters/Eddie Keogh

Stadion Maracana terlihat di belakang Favela di Rio de Janeiro, Brasil, Ahad (8/6).

Oleh Endro Yuwanto dari Sao Paulo

Jangan pernah berharap menemukan rumah dengan pagar rendah atau bahkan tanpa pagar di kawasan Campanario Diadema Sao Paolo, Brasil. Sebagian besar jika tak ingin dikatakan semuanya berpagar tinggi di atas dua meter sampai menutup plafon rumah.

Tampak depan rumah-rumah di Diadema juga sederhana dan terkesan setengah jadi. Sebagian rumah bahkan hanya ditutup dengan rolling door. Padahal, jika memasuki satu per satu rumah itu, kemewahan tergambar jelas. Mobil-mobil keluaran terbaru ada di garasi dan semua perabot mewah terpampang.

Ferdinand Doren, pastor asal Indonesia yang sudah 15 tahun bermukim di Diadema, memberikan alasan mengapa rumah-rumah itu memiliki ciri khas yang nyaris sama. "Rumah-rumah di sini memang sengaja dibuat seperti itu untuk menghindari sesuatu," kata Ferdinand.

Awalnya, saya mengira warga Diadema membuat rumah seperti itu untuk menghindari pajak. Namun, jawaban Ferdinand bukan itu. "Mereka membuat rumah dengan model seperti itu demi menghindari atau menyamarkan rumah dari incaran pencuri dan perampok," katanya.

Ferdinand lantas mengajak saya berkeliling Diadema dengan mengendarai minivan. Saya pun menelusuri sudut-sudut kumuh di kawasan yang terkenal sebagai sarang bandit, preman, plus pengedar narkoba. Di sepanjang jalan, beberapa warga setempat menyapa Ferdinand. Ia mengaku sebagian besar warga setempat adalah jemaatnya.

Fernando menjadi panggilan akrab warga Diadema terhadap Ferdinand yang lahir di Lewaloba, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu. Pria berusia 47 tahun itu bertugas di paroki yang membawahkan tujuh komunitas Katolik di Distrik Campanario, Sao Paulo, sejak 1997.

Hanya butuh sekitar 10 menit dari penginapan saya untuk sampai ke kawasan padat dan kumuh atau dikenal dengan istilah Favela. Jalanan masih lengang. Hari sebenarnya tidak terlalu pagi, sekitar pukul 10.00 waktu setempat.

Jalan masuk daerah tersebut relatif sempit layaknya gang-gang di kawasan Tanah Abang, Jakarta. Saat berpapasan dengan mobil lain, Ferdinand harus melambankan mobilnya.

Rumah di daerah itu saling berimpitan ke samping kiri-kanan maupun ke atas karena lokasinya di area perbukitan. Namun, jangan heran, terkadang ada mobil mewah terparkir di sana. Mobil itu hasil curian, atau istilahnya milik sementara karena akan segera dilepas kembali ke pasar gelap.

"Ini daerah bandit. Sekarang sepi karena orang-orang masih tidur setelah semalaman keluyuran,” ujar Ferdinand.

Masuk lebih ke dalam Favela, suasana tampak makin sepi mencekam. Ferdinand lantas membawa saya ke kawasan bernama Favela 18 Agustus, wilayah yang pernah masuk daftar hitam karena memiliki catatan tertinggi angka kriminal di Brasil, bahkan di dunia setelah Bogota, Kolombia. Pria berseliweran menenteng senjata api menjadi pemandangan tak aneh pada 20 tahun lalu di daerah ini.

Perang antargeng kerap terjadi karena masalah wilayah kekuasaan dan obat-obatan terlarang. Hingga kini, transaksi narkoba masih berlangsung di sudut-sudut kawasan ini. Peredaran senjata api juga belum hilang.

Meski kondisi saat ini berbeda dengan dulu, suasana malam masih belum aman bagi yang datang seorang diri melewati Favela. Ketika kendaraan kami melewati daerah tersebut, ada beberapa orang di luar rumah.

Mereka seperti tak peduli dengan kendaraan yang lewat, tetapi sesungguhnya mata mereka waspada atau lebih tepatnya curiga. "Warga di sini sudah saling mengenal secara dekat, jadi mereka akan tahu kalau ada orang baru yang datang," ungkap Ferdinand.

Selanjutnya, kami melewati taman di dekat jalan besar bernama Kalleman. Taman di daerah Diadema cukup dikenal masyarakat kota ini. Tanah ini dulunya kosong dan menjadi lokasi pembuangan mayat yang dibunuh para bandit atau korban perang antargeng.

Pada 1990-an, taman ini menggegerkan warga seantero Brasil karena dalam semalam ditemukan tujuh mayat anak muda korban pembunuhan. Agar tanah kosong itu tak dijadikan lagi tempat pembuangan mayat, pemerintah lokal di sana sekarang mengubahnya menjadi Taman Kalleman. Kalleman merupakan nama depan tujuh anak muda yang dibunuh di sana.

Lantas, di mana peran polisi? Menurut Ferdinand, polisi justru terkesan lepas tangan di wilayah ini karena mereka mendapat bagian alias upeti dari para bandit. Pertanyaan saya mengapa warga di sekitar Favela membangun model rumah tampak depan sederhana dan berpagar tinggi terjawab sudah.

Namun, di saat sejumlah warga Brasil melakukan aksi protes menyambut Brasil sebagai tuan rumah Piala Dunia 2014, warga Favela di Diadema justru menyambutnya lebih antusias. Warga Favela mewarnai jalanan beraspal dengan bendera Brasil. Bendera-bendera Brasil juga betebaran di rumah-rumah itu.

Mereka juga memajang bendera-bendera kecil Brasil dari kertas plastik yang dilem pada benang yang memanjang dan menghubungkan antarrumah di wilayahnya. Mirip suasana HUT Proklamasi 17 Agustus di Indonesia. Patriotik, bukan?

Tapi tunggu dulu, mereka tak mengeluarkan biaya sepeser pun untuk membuat bendera-bendera itu. Pendanaan kegiatan itu dengan cara meminta uang door to door ke warga sekitar Favela. "Istilahnya, ya, malakin duit warga sekitar," kata Ferdinand. Namanya juga preman.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
kabar dari brasil piala dunia 2014 piala dunia
Berita Terpopuler
Berita Lainnya