Rabu , 25 Jun 2014, 17:06 WIB

Copacabana

Red: Didi Purwadi
Suporter Brasil merayakan gol Timnas Brasil ke gawang Kroasia saat laga perdana grup Piala Dunia 2014 di Pantai Copacabana, Rio de Janeiro, Kamis (12/6).
Foto Reuters/Pilar Olivares

Suporter Brasil merayakan gol Timnas Brasil ke gawang Kroasia saat laga perdana grup Piala Dunia 2014 di Pantai Copacabana, Rio de Janeiro, Kamis (12/6).

Oleh Endro Yuwanto dari Rio de Janeiro

"Her name was Lola, she was a showgirl, with yellow feathers in her hair and a dress cut down to there. She would merengue and do the cha-cha and while she tried to be a star... At the Copa, Copacabana (Copacabana)... The hottest spot north of Havana... At the Copa, Copacabana... Music and passion were always in fashion. At the Copa.... they fell in love..."

Lagu "Copacabana" karya musikus asal Amerika Serikat (AS), Barry Manilow, pada 1978 itu begitu akrab di telinga sejak saya masih belia.

Lagu penuh semangat yang sebenarnya adalah sebuah kisah cinta yang berakhir tragis. Sebuah ironi.

Nama Copacabana kerap terngiang-ngiang dalam ingatan masa kecil saya. Manilow membuat lagu indah itu setelah terinspirasi dengan nama sebuah bar di New York, AS.

Ketika beranjak dewasa, saya pun menyadari Copacabana ternyata berarti pula nama salah satu kawasan pantai di Brasil. Dan saya tak pernah membayangkan sebelumnya. Bahkan dalam keinginan masa kecil saya, suatu saat nanti bisa menjejakkan kaki di pantai berpasir putih dengan deburan ombak seperti alunan musik, Copacabana.

Copacabana sepertinya adalah semenanjung kecil yang menjorok ke laut. Ada hamparan beberapa bukit di kejauhan yang mempermanis pemandangan mata.

Copacabana adalah pantai yang luas di kota Rio de Janeiro. Jalanan dan trotoar yang menghadap langsung bibir pantai; bagus, bersih, dan selalu ramai. Kafe-kafe berjajar di sepanjang pantai. Hotel-hotel berdiri anggun di seberang pantai.

Toilet bersih yang tertata rapi di sepanjang pantai. Minuman khas "Caipirinha", Es Degan ala Brasil "Agua de Coco" serta minuman bersoda yang menjadi penyegar suasana. Inilah pantai yang tak pernah memejamkan matanya.

Pantai Copacabana adalah perwujudan rakyat Brasil yang gemar berpesta. Lapangan sepak bola ala kadarnya di sekujur bibir pantai juga menunjukkan rakyat Brasil yang suka sepak bola.

Tapi, saat perhelatan Piala Dunia 2014, bukan hanya warga Rio de Janeiro saja yang berpesta, para suporter dari seluruh dunia pun tumpah ruah di sana.

Setiap hari, Copacabana penuh disesaki suporter. Pemerintah Brasil yang sadar diri menjual Copacabana tak hanya pada turis namun juga pada para penggemar sepak bola.

Di sana, Fan Fest Federasi Sepakbola Dunia (FIFA) didirikan. Tiga layar raksasa dipajang di sudut pantai. Ini menjadi magnet baru bagi warga dunia untuk hadir di Copacabana.

Keindahan pantai, nonton bareng di layar raksasa, atau sekadar bersantai di kafe-kafe sambil menyaksikan pertandingan Piala Dunia secara langsung melalui layar kaca, tentu adalah "surga" bagi para suporter dunia dibanding datang ke Stadion Maracana. Apalagi tak setiap hari Maracana menyajikan pertandingan Piala Dunia.

Suporter dari berbagai negara hilir mudik sambil tertawa riang. Ada suporter dari Belanda, Jepang, Argentina, Cile, Iran, Kolombia, Nigeria, Jerman, dan mungkin hampir seluruh suporter negara kontestan Piala Dunia hadir di Copacabana. Sesekali mereka saling menyapa dan berpose bersama meski mengenakan kostum tim yang berbeda.

Berdiri di tepi pantai Copacabana, saya merasa kesepian dalam keramaian. Saya membayangkan andai tim nasional Indonesia lolos ke Piala Dunia 2014 mungkin rasa sepi ini tak akan menggerogoti.

Saya berandai-andai jika saja tim Merah Putih menjadi salah satu kontestan, tentu yang tertawa riang di sana adalah sejumlah suporter skuat Garuda. Dan pasti saya akan berbaur dengan mereka untuk berpesta bersama.

Tiba-tiba seseorang menyenggol pundak saya. "Maaf tak sengaja," kata seorang suporter yang mengenakan kostum tim nasional Nigeria. Ia berempat dengan temannya. Ia lantas bertanya,"Anda dari mana, Jepang?"

Saya menjawab,"Bukan, saya dari Indonesia."

Sambil tersenyum dia bertanya lagi,"Wow Indonesia jauh sekali. Apakah Indonesia ikut Piala Dunia?"

Saya tak menjawab hanya tersenyum kecut. Buru buru ia berkata,"Maaf saya hanya bercanda, oke saya jalan dulu sampai jumpa."

Saya hanya melambaikan tangan. Komentar suporter Nigeria itu masih menggelitik pikiran saat mereka berlalu dari hadapan saya. Kenyataannya memang Indonesia tak tampil di Piala Dunia. Mungkin di Copacabana memang bukan tempat hura hura buat saya. Bukan tempat buat berpesta bagi orang Indonesia.

Tapi, tak ada salahnya untuk beberapa saat saya menikmati keindahan Copacabana. Tak ada salahnya. Meski di Indonesia banyak pantai yang tak kalah indahnya dengan Copacabana.

Parangtritis Yogyakarta, Kuta Bali, Pangandaran Jawa Barat, Senggigi Lombok, Tenggiri Bangka-Belitung, Bunaken Manado, Pelabuhan Ratu Jawa Barat, Sanur Bali, Raja Ampat Papua Barat, dan tentu masih ada lagi yang terlewat. Saya tak hafal untuk menyebutkan satu persatu karena memang begitu banyaknya pantai indah di bumi nusantara.

Dibanding Copacabana, pantai-pantai di Indonesia hanya kalah infrastruktur memadai. Kurang digarap secara lebih serius. Kurang dijual. Hanya itu, soal keindahan pantai sebenarnya sama saja.

Sama seperti pantai kita, mungkin sepak bola kita sebenarnya juga tak kalah dengan Brasil atau negara kontestan Piala Dunia lainnya. Tapi, masalahnya... ah kita sendiri sudah tahu jawabannya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
kabar dari brasil endro yuwanto
Berita Terpopuler
Berita Lainnya