Oleh Endro Yuwanto dari Rio de Janeiro
Bangunan berlantai tiga itu tak terlalu lapang. Hanya menempati lahan sekitar 7 x 20 meter. Tapi dari bangunan sederhana yang berada di kawasan padat perumahan kuno di Rua Gonzaga Bastos 77, Andarai Tijuca, itu, Islam menyebarkan cahayanya ke seantero kota Rio de Janeiro, Brasil.
Ya, bangunan itu adalah satu-satunya masjid di Rio de Janeiro. Di sanalah pusat pengenalan, penyebaran, dakwah, dan ibadah bagi umat Islam di bekas ibukota Brasil tersebut.
Masjid yang di depannya sama sekali belum mencantumkan papan nama itu lebih mirip mushala yang memanjang ke belakang hingga mampu menampung sekitar 100 jamaah shalat.
"Beginilah kondisinya, masjid ini sebenarnya sudah punya nama, Al Nur. Masjid ini dulunya mushala yang didirikan pada 2009, tapi belum sepenuhnya selesai karena masih butuh perbaikan di sana sini," tutur Mamadu Balde', salah satu jamaah yang saya temui seusai menunaikan shalat dzuhur, Rabu (25/6).
Mamadu adalah mahasiswa asal sebuah negara kecil di Afrika Barat, Guinea-Bissau, yang sedang menempuh pendidikan di Universidade Federal do Rio de Janeiro (UFRJ). Sudah lima tahun pria usia 23 tahun ini menetap di Rio de Janeiro.
Hari itu ia bersama 14 orang temannya, lima di antaranya wanita muda berjilbab, hendak menyebarkan brosur-brosur tentang Islam kepada pengunjung di Pantai Copacabana dan Ipanema.
"Kami akan berdakwah di tempat para suporter sepak bola sedang berkumpul," katanya.
Di shaf bagian wanita yang menempati separuh ruangan masjid, terlihat ratusan kardus berisi brosur-brosur dan buku tentang Islam. Judulnya antara lain "Wanita dalam Islam", "Muhammad Utusan Allah", dan "Yesus dan Muhammad Ada dalam Injil dan Alquran".
Mamadu dan 14 rekannya kompak mengenakan kaos mirip pemain sepak bola dengan warna khas bendera Brasil, kuning dan hijau, plus nomor 10 di belakang punggungnya. Yang menarik, di atas nomor punggung 10 itu ada tulisan "Islam is The Best".
Rekan Mamadu, Mohamed Sallah, pria keturunan Palestina yang lahir di Brasil, mengaku selama ini tak ada hambatan yang berarti saat ia dan rekan-rekannya yang rata-rata berusia 20 tahunan tersebut berdakwah di Rio de Jeneiro.
Pemerintah dan rakyat Brasil, lanjut dia, memiliki toleransi yang tinggi terhadap umat selain Katolik yang menjadi agama mayoritas negeri Samba itu.
"Kota ini sudah terbiasa dengan perbedaan. Orang-orang dari berbagai bangsa, ras, etnis, dan agama datang ke sini. Lihat saja masjid ini bersebelahan dengan Gereja Senhor Jesus Cristo," ucapnya.
Sallah memperkirakan jumlah Muslim di Rio de Janeiro sekitar 400 orang, tak sebanyak Muslim di kota besar Brasil lainnya, Sao Paulo. Demikian pula jumlah masjidnya. "Al Nur satu-satunya masjid di kota ini," jelasnya.
Menurut Sallah, sekitar 80 persen dari komunitas Muslim di Rio de Janeiro bukan dari etnis Arab atau keturunannya tapi berasal dari beragam latar. Bahkan sebagian besar adalah mualaf.
"Karena itu, tak sama dengan kota lainnya seperti Sao Paulo, komunitas Muslim di sini tidak bertendensi menonjolkan identitas Arab dalam kehidupan beragama sehari-hari," katanya.
Di Rio de Janeiro, kata Sallah, warga Muslim kerap berkumpul untuk beribadah dan bersilaturahim di masjid Al Nur atau juga dikenal dalam bahasa Portugis sebagai Mesquita Da Luz yang berarti Masjid Cahaya.
Layaknya di Indonesia, Masjid Al Nur sangat ramai saat bulan Ramadhan. "Di sini, Ramadhan tahun ini bisa jatuh antara tanggal 28 atau 29 Juni, kita lihat saja nanti," ujarnya.
Sallah mengatakan, saat Ramadhan kaum Muslim di Rio de Janeiro memadati masjid dari sahur hingga buka puasa dan dilanjutkan dengan shalat tarawih berjamaah. "Alhamdulilah Ramadhan tahun lalu, sebanyak 40 warga Brasil menjadi mualaf, sebagian besar wanita," jelasnya.
Setelah menunaikan shalat Ashar, saya bersama Mamadu, dan 14 anak-anak muda yang penuh semangat untuk berdakwah itu pun beranjak meninggalkan masjid. Saat keluar gerbang yang hanya selebar satu setengah meter, saya berpapasan dengan dua pria yang baru turun dari taksi. "Assalamualaikum, apakah ini masjid?" tanya salah satu pria.
Saya menjawab salam dan menganggukkan kepala. Kami lalu saling berjabat tangan. Pria itu mengaku bernama Jassem Al Noubi dari Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.
Al Noubi dan rekannya mengaku sengaja datang ke Brasil untuk menyaksikan secara langsung pertandingan Piala Dunia 2014. Ia lantas merogoh tasnya dan memperlihatkan tiket pertandingan Grup G antara Ghana versus Portugal.
"Wah kita sama ya ke Brasil buat nonton bola. Sangat sulit ya mencari masjid di sini," katanya sambil menepuk bahu saya.
Dalam hati saya bergumam, "Sabar Al Noubi, suatu saat nanti entah kapan, perjuangan dan kerja keras Mamadu serta teman-temannya dalam berdakwah insya Allah akan membuahkan hasil. Jika saat itu tiba, Anda tak akan sulit untuk menemukan masjid di Rio de Janeiro..."