Oleh Endro Yuwanto dari Rio de Janeiro
Kamis (26/6), tak ada jadwal pertandingan tim nasional Brasil di Piala Dunia 2014. Tak ada pula pertandingan yang digelar di Stadion Maracana. Lantaran dua alasan itu, jalanan di Kota Rio de Janeiro pun kembali berdetak.
Sejak matahari menampakkan diri, para pekerja sudah berjubel dalam bus dan kereta api. Sebagian lagi memenuhi jalanan dengan mobil pribadi.
Anak-anak kembali bersekolah dan para pelaku usaha di sisi jalan hampir semuanya membuka lapak menyongsong rezeki. Ingar-bingar Piala Dunia untuk sementara waktu seperti dilipat dalam rutinitas sehari-hari.
Tapi, sepak bola tak benar-benar dilipat untuk sementara waktu. Di sekolah-sekolah, misalnya, di Colégio Imaculado Coração de Maria, kawasan Méier, puluhan bocah laki-laki setingkat sekolah dasar masih memainkan bola di lapangan futsal saat jam istirahat.
Saat saya melintas di pantai berpasir putih Copacabana dan Ipanema, beberapa kelompok pengunjung pun memainkan si kulit bundar. Terlihat dua remaja laki-laki dan dua perempuan membentuk lingkaran sambil memainkan bola.
Saya terkagum-kagum karena mereka yang awam saja jago menyundul, passing, menendang bola dari tumit kaki pindah ke dengkul, lalu ke kepala, dan sebagainya.
Tak salah bila Brasil kerap disebut-sebut sebagai negerinya sepak bola. Banyak bintang lapangan hijau yang memang lahir di sini.
Erivelton Lima, konsultan di sebuah klub junior di Sao Paolo, mengungkapkan, banyak bintang sepak bola Brasil yang lahir dari jalanan. Mereka terbiasa main di tempat yang sempit.
"Kebiasaan main di tempat sempit dan gawang yang sempit justru sangat menolong skill mereka untuk terfokus," kata dia.
Sama seperti negara berkembang lainnya, kata Erivelton yang pernah merumput di Liga Indonesia pada awal 2000-an, anak-anak Brasil tidak biasa dengan fasilitas. Di jalanan tempat anak-anak bermain bola, lanjut dia, pelatih mereka adalah diri sendiri. "Klub ataupun sekolah sepak bola tinggal mengasah teknik untuk bermain secara tim," ujarnya.
Tapi, hanya itukah yang membuat sepak bola Brasil terkenal begitu hebat? Legenda sepak bola Brasil, Pele, yang semasa kecil memainkan sepak bola jalanan dan tinggal di perkampungan kumuh Tres Coracoes pernah mengatakan, “Sukses bukanlah sebuah kebetulan. Tetapi, sebuah kerja keras, ketabahan, pengertian, pembelajaran, pengorbanan, dan lebih dari itu, kecintaan pada apa yang Anda lakukan atau pelajari.”
Ya, rasa cinta terhadap sepak bola. Mungkin itu menurut saya jawaban terbaik tentang Brasil. Warga Brasil mencintai sepak bola dan apa pun yang ada di dalamnya. Saya ingat dua pekan lalu sempat mampir di museum sepak bola di Estadio Municipal Paulo Machado de Carvalho, Sao Paolo.
Di museum itulah warga Brasil menunjukkan kecintaannya terhadap sepak bola dan para legendanya, termasuk Pele yang pernah merasakan juara dunia sebanyak tiga kali.
Betapa Brasil menghargai setiap pengalaman sepak bola yang tecermin pada deskripsi di plakat pintu masuk pameran mengenang Maracanazo atau tragedi saat sebagai tuan rumah Piala Dunia 1950, Brasil gagal menjadi juara.
Tapi, Brasil menjadikan Maracanazo sebagai momentum untuk bekerja keras dan bangkit sehingga mampu menduduki takhta juara dunia pada 1958, 1962, 1970, 1994, dan 2002.
Kecintaan warga Brasil terhadap sepak bola juga diwujudkan sebagai identitas seseorang, selain nama dan asal. Sudah menjadi rahasia umum, ada pertanyaan setiap warga Brasil berjumpa satu sama lain. "Apa klub idolamu?"
Pertanyaan ini berlaku untuk pria dan wanita dari belia sampai orang tua. Intinya, pertanyaan ditujukan untuk siapa saja warga Brasil, asalkan bukan bayi dan balita.
Akan terlihat aneh jika seseorang tidak mendukung klub sepak bola lokal manapun. Jangan tanya klub asing seperti klub-klub asal Eropa. Sebagian besar dari mereka akan malas menjawabnya. Kecintaan mereka lebih ditujukan untuk klub-klub sendiri.
Tak aneh jika di Brasil, dalam satu kota, bisa ada lebih dari tiga klub sepak bola. Di Kota Sao Paolo, misalnya, menjadi basis klub Santos, Corinthians, Sao Paulo, dan Palmeiras. Di Rio de Janeiro, ada klub Botafogo, Fluminense, Flamengo, dan Vasco da Gama.
Dalam satu keluarga, ayah, ibu, adik, dan kakak bisa saja memiliki klub idola yang berbeda-beda. Dan, itu sah-sah saja.
Jangan heran pula jika di pusat perbelanjaan, seperti mal dan juga pasar tradisional, gampang dijumpai konter yang menjual atribut dan pernak-pernik klub lokal.
Di rumah orang-orang Brasil pun dengan mudah ditemui pajangan berupa atribut klub bola lokal, mulai dari stiker, tempelan kulkas, poster, jersey, hingga bendera yang bergandengan dengan atribut keagamaan. Karena cintanya, sepak bola di Brasil sudah layaknya agama.