Oleh: Endro Yuwanto dari Brasil
Semula adalah rasa was-was, kekhawatiran, dan kecemasan. Berita-berita negatif mengenai Brasil terutama soal tingginya angka kriminalitas jalanan di kota-kota besar seperti Rio de Janeiro dan Sao Paulo, cukup merisaukan siapa saja warga asing termasuk saya saat hendak berkunjung untuk menyaksikan Piala Dunia 2014.
Seperti diberitakan media asing maupun media lokal Brasil, kriminalitas diperkirakan semakin meningkat saat berlangsungnya pesta sepak bola empat tahunan itu. Dalam pemberitaan tersebut, kriminalitas jalanan dengan sasaran sekitar 600 ribu tamu asing yang mengalir ke Brasil akan banyak ditemui di Rio de Janeiro dan Sao Paulo, karena di dua kota itu terdapat perkampungan kumuh (favela) yang menjadi sarang para bandit.
Namun kenyataannya, baik di Sao Paulo maupun Rio de Janeiro, hampir tidak pernah saya temui tindak kriminalitas di jalanan terhadap warga asing. Ini bukan mengada-ada lantaran setiap hari saya selalu berkeliling kota menggunakan angkutan umum seperti bus kota dan kereta bawah tanah (subway).
Di salah satu perhentian bus di kawasan Meier Rio de Janeiro. Setiap pagi saya selalu bertemu seorang pria berkepala botak berbadan tegap lengkap dengan tato di lengannya. Ia duduk di bangku plastik di sisi trotoar sambil sesekali mengawasi jalanan. Beberapa sopir bus kerap menyapa pria itu. Sejumlah sopir bahkan menghentikan busnya, turun, dan lalu memberikan sebatang atau dua batang rokok terhadap pria bertato itu.
Awalnya saya sempat curiga pria itu adalah preman yang menjaga wilayah di sekitar perhentian bus. Gerak-geriknya seakan juga mempertegas ia seorang preman. Namun mau tak mau saya harus menunggu bus di situ karena itulah perhentian terdekat dari penginapan saya.
Di hari pertama bertemu, pria bertato itu justru tersenyum dan berusaha menyapa. "Bukan dari Brasil ya?" tanya dia. "Bukan." Jawab saya singkat saja.
"Dari mana asalnya?" tanya dia lagi. "Indonesia, mau menonton Piala Dunia," jawab saya kemudian.
"Maracana?" tanya pria bertato itu lagi. "Ya, mau ke Maracana," jawab saya. Ialantas mengingatkan agar naik bus nomor 609 saja. Meski banyak bus yang melewati Maracana, kata dia, namun sebagian besar memutar sehingga akan menghabiskan waktu lebih lama untuk mencapai salah satu stadion penyelenggara pertandingan Piala Dunia 2014 itu.
Di lain hari saya jadi terbiasa bertanya ke pria yang ternyata bertugas sebagai timer bus itu. Saya misalnya bertanya rute ke pantai Copacabana, Ipenema, dan patung Cristo Redentor. Ia pun selalu menjawab dan memberikan arah dan bus yang tepat. Jika saya kesulitan untuk memastikan nomor busnya, ia dengan sigap menulis di telapak tangannya menggunakan pen nomor bus-bus itu lalu memperlihatkannya kepada saya.
Saat Brasil berlaga di babak 16 Besar kontra Cile, pria itu dan rekan-rekannya mengajak mampir sebentar di tempat mangkalnya. Di sana ia mengadakan pesta kecil-kecilan nonton bareng. Satu set alat bakar, meja penuh minuman, dan televisi berukuran sedang, sudah terpajang.
Pesta kecil-kecilan itu berakhir meriah setelah Brasil memastikan diri lolos ke perempat final karena menang adu penalti. Kami pun berjingkrak jingkrak dan saling berpelukan. Saya merasakan kehangatan. Keramahan warga Brasil. Meski saya warga asing, mereka seperti tak memedulikannya. Tak membedakannya.
Keramahan yang sama juga ditunjukan oleh keluarga Ira Miguel dan Vanderlei, di distrik Campanario, Diadema, Sao Paulo. Pekan-pekan pertama selama tinggal di Sao Paulo, saya juga kerap diundang ke pesta bareng sambil menyaksikan pertandingan langsung tim nasional Brasil dari layar kaca.
Miguel dan Vanderlei yang merupakan tetangga di penginapan saya menyiapkan acara nonton bareng sambil membakar daging sapi dan menghidangkan spagetti plus salad. Di atas meja juga sudah tersedia aneka buah-buahan, minuman segar, dan es krim.
Tak hanya itu, saat saya hendak bergeser tugas dari Sao Paulo ke Rio de Janeiro, Ira dan suaminya tak segan mengantar saya dengan mobil sedannya ke terminal bus antarkota terdekat. Jelas saya sangat terkesan dengan kehangatan dan keramahtamahan warga Brasil. Benar adanya ungkapan bahwa orang jahat ada di mana-mana, tapi sebaliknya, orang baik pun ada di mana mana.