Oleh: Endro Yuwanto dari Brasil
Hanya ada satu nama yang selama ini identik dengan sepak bola indah: Brasil. Setiap kali melihat para pemain dalam balutan baju warna kuning cerah dan hijau daun sedang menggiring bola, saya tahu bahwa sebuah trik, seni, dan kreativitas di lapangan hijau bisa terjadi kapan saja. Para pesepak bola Brasil ibarat penari samba yang tak lelah menghibur warga dunia.
Status Brasil sebagai negara dengan sepak bola indah semakin dipertegas ketika skuat berjuluk Selecao itu menjalin kontrak kerja sama dengan Nike.
Produsen apparel olahraga berlambang tanda centang dari Amerika Serikat itu menciptakan kampanye joga bonito, frase bahasa Portugis yang berarti permainan cantik atau indah, sebagai alat marketing dengan timnas Brasil sebagai pilarnya. Maka berbagai iklan yang menunjukkan para pemain Brasil memperagakan seni dan teknik fantasi sepak bola pun beredar di seluruh dunia.
Beberapa pekan tinggal di Brasil, saya melihat sebenarnya tak hanya sepak bola saja yang memanjakan mata para pengunjung di Negeri Samba. Seni dan kreativitas menjalar hingga ke para pengamen di jalanan. Nyaris sulit menemukan pengamen yang tak kreatif dan tak memiliki cita rasa seni.
Di sisi luar Stadion Maracana, kota Rio de Janeiro, setiap sore hari saya mendapat suguhan seorang pengamen yang mengenakan baju tim nasional Argentina bernomor punggung 10 plus wig rambut kribo. Tak lupa ia selalu memegang bola. Sepintas orang-orang yang lewat akan mengingat si pengamen ini sedang menirukan gaya legenda sepak bola Argentina, Diego Maradona.
Di sisi luar Maracana lainnya, seorang kakek usia 60 tahunan berkulit hitam mengenakan baju tim nasional Brasil sedang ber-junggling dengan bola. Di depan dua orang yang sedang memainkan aksinya itu, tampak kaleng untuk menampung uang dari pengunjung yang terkesan dengan aksi mereka.
Sore di Pantai Copacabana, di Rio de Janeiro, juga menjadi waktu yang tepat untuk menyaksikan berbagai atraksi dari para pengamen di sekujur pantai berpasir putih itu. Yang paling menarik perhatian saya adalah atraksi manusia karet asal Afrika Barat. Pria itu mampu meletakkan kedua kakinya melingkar di lehernya. Hebatnya lagi, ia melakukan semua aksi itu di atas tumpukan tiga atau empat kaleng kecil.
Di Liberdade, kota Sao Paulo, di pusat pemukiman Jepang di Brasil, setiap pagi saya menjumpai pengamen unik. Ia melumuri seluruh bagian tubuhnya dengan cat warna emas. Ia seolah menjadi patung emas tentara Jepang tempo dulu yang bisa bergerak layaknya adegan lamban dalam film. Kerap terlihat orang-orang yang melintas tak menyadari bahwa patung emas itu hidup. Si patung emas kadang berbuat iseng dengan memegangi tangan pejalan kaki. Sampai-sampai beberapa pejalan kaki berteriak saking kagetnya.
Namun setelah sadar di dalam patung emas itu ada manusianya, para pejalan itu kontan tertawa dan tak segan memberikan beberapa keping uang logam. Beberapa pejalan pun berusaha berpose bersama si patung emas. Si patung emas tak hanya memegang kaleng uang dari para pengunjung, dari balik jubah emasnya, ia mengeluarkan permen untuk dibagikan pada pejalan yang memberinya uang.
Sekitar lima kilometer dari Liberdade, tepatnya di depan gedung Theatro Municipal, Anhangabau, sejumlah pengamen kreatif juga beraksi. Mereka mengenakan kostum yang sangat mirip tokoh film kapten Jack Sparrow dari film Pirates of Carribean, Jason Voorhess dalam film Friday the 13th, dan tokoh hero film Holywood, Iron Man. Tentu saja kostum-kostum itu menarik perhatian para pejalan kaki yang ingin berpose bersama. Setelah berpose para pejalan itu pun dengan sukarela memberikan uang pada para pengamen yang meletakkan kaleng di depan kakinya.
Di Anhangabau, sejumlah pengamen memang bersaing untuk mendapatkan perhatian. Pengamen yang memainkan alat musim juga menyanyikan lagu-lagu populer dalam bahasa Inggris dan Portugis. Sebagian besar mengandalkan gitar dan perlengkapan soundsystem lengkap dengan tenaga aki plus penari latar. Mereka juga mengenakan kostum layaknya sedang pentas di arena pertunjukan. Untuk penonton yang hendak memberikan uang, tersedia kotak sumbangan dari kardus persis di depan para pengamen.
Tak salah bila saya mengacungkan jempol untuk kreativitas dan cita rasa seni para pengamen itu. Wajar bila saya dengan mudah melihat para pejalan kaki ataupun pengunjung yang justru antre untuk bisa berpose dengan mereka. Para pengunjung itupun dengan riang dan ringan mengeluarkan uang tanda keikhlasan sebagai bentuk penghargaan terhadap aksi pengamen-pengamen itu.
Saya pun jadi ingat aksi para pengamen di Indonesia yang jauh dari kesan kreatif. Gitar ala kadarnya, menyanyi sekenanya, kadang hanya modal tepuk tangan, atau pakai topeng ondel-ondel tanpa bergaya. Para pengamen di Indonesia lebih terkesan mengemis dibanding berusaha tampil kreatif dan berseni. Ah, apakah seperti ini bisa ditarik pula sedikit benang merah perbandingan antara sepak bola Brasil dan Indonesia?