Oleh: Israr Itah
Empat tahun lalu, saya terkagum-kagum saat menyaksikan langsung pameran perjalanan prestasi sepak bola Brasil di Sandton Convention Centre, Johannesburg. Ketika itu, saya berada di kota terbesar di Afrika Selatan (Afsel) untuk meliput penyelenggaraan Piala Dunia 2010.
Brasil mempromosikan negaranya sebagai tuan rumah hajatan sepak bola terbesar dunia yang akan berlangsung pada musim panas 2014. Memanfaatkan momentum putaran final Piala Dunia 2010, Pemerintah Brasil, melalui Dewan Pariwisata Brasil (Embratur), menggelar pameran yang dimulai pada 15 Juni dan berakhir tepat saat final Piala Dunia 2010, 11 Juli.
Sebuah ruangan besar di lantai dua Sandton Convention Centre —mirip Jakarta Convention Center— disulap menjadi Casa Brasil (Rumah Brasil). Di tempat ini para pengunjung mendapatkan informasi menyeluruh tentang 12 kota tuan rumah Piala Dunia 2014, yaitu Brasilia, Cuiaba, Manaus, Fortaleza, Natal, salvador, Recife, Curitiba, Porto Alegre, Belo Horizonte, Sao Paolo, dan Rio de Janeiro.
“Pemerintah Brasil ingin menunjukkan jika negara mereka bukan hanya sekadar pantai, hura-hura, dan kemiskinan. Mereka ingin mengikis stereotip itu dan ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Brasil terus berkembang menuju negara maju,” kata salah seorang staf Embratur kepada saya, ketika itu.
Pameran ini menyuguhkan berbagai informasi tentang timnas Brasil yang mulai berpartisipasi di piala dunia sejak 1930. Beberapa layar televisi memutar rekaman kemenangan Brasil di beberapa piala dunia. Dipajang pula kostum pemain terkenal yang pernah merebut piala dunia, seperti Ronaldo, Pele, dan Carlos Alberto Torres.
Turut dipajang beberapa trofi yang didapat Selecao, julukan timnas Brasil, selama ambil bagian di turnamen besar. Yang paling menyita perhatian pengunjung adalah replika Piala Jules Rimet yang dibuat Eastmans Kodak pada 1984 menggantikan trofi asli yang dicuri pada Desember 1983 di Rio de Janeiro.
Saya sempat “termakan” kampanye indah di pameran itu. Dalam benak saya ketika itu, Brasil akan menjadi salah satu tuan rumah yang akan dikenang sepanjang masa karena kesiapan mereka sebagai penyelenggara.
Nyatanya, hingga tiga bulan menjelang kick-off partai pembuka yang mempertemukan tuan rumah Brasil dengan Kroasia di Arena Corinthians, Sao Paolo, 12 Juni, setumpuk masalah belum terselesaikan.
Mulai kesiapan stadion, infrastruktur transportasi, hingga keamanan, kondisinya hampir sama atau bahkan lebih buruk dibandingkan Afsel ketika menjadi tuan rumah.
Pengerjaan empat dari 12 stadion masih belum selesai, yakni Arena Corinthians, Arena Pantanal (Cuaiba), Arena Amazonia (Manaus), dan Arena da Baixada (Curitiba). Sebagian bandara di 12 kota penyelenggara juga belum rampung memoles diri. Beberapa bagian di Bandara Fortaleza dikabarkan masih menggunakan terpal karena pembangunan tak kunjung usai.
Kesiapan bandara menjadi amat penting, terutama menyambut laga-laga penting. Di Piala Dunia 2010, misalnya, banyak penonton gagal menyaksikan langsung semifinal antara Jerman versus Spanyol di Durban. Sebab, Bandara King Shaka tak mampu menampung lonjakan kedatangan pesawat. Alhasil, banyak pesawat terlambat, bahkan ada yang dialihkan ke kota lain. Brasil terancam akan mengalami hal serupa.
Keamanan di Brasil tak jauh beda dengan negara asal Nelson Mandela itu. “Kekerasan adalah masalah dalam masyarakat kami,” kata Roseane Barros (28 tahun) yang pindah ke Sao Paulo dari utara Brasil untuk bekerja, seperti dikutip Wall Street Journal, beberapa waktu lalu. “Turis akan melihat ini saat Piala Dunia.”
Sejumlah kasus kekerasan muncul pada awal tahun ini. First Capital of the Command, sindikat kriminal terbesar di Brasil, sudah melontarkan ancaman akan menjadikan turis di Piala Dunia 2014 sebagai sasaran aksi kejahatan mereka.
Saya berharap, kekhawatiran saya ini urung menjadi kenyataan. Jangan ada yang menjadi saksi peristiwa perampokan seperti yang dialami dua rekan wartawan Tanah Air saat hendak berbelanja di Johannesburg, empat tahun lalu.
Semoga, hanya cerita tentang gocekan indah Neymar dan Lionel Messi, gol spektakuler Cristiano Ronaldo, umpan-umpan matang Andrea Pirlo, keindahan pantai Copacabana dan Ipanema, keeksotisan hutan hujan Amazon, dan megahnya air terjun Iguazu yang dibawa pulang rekan-rekan jurnalis asal Indonesia ke Tanah Air.