Oleh: Abdullah Sammy
Seorang Jose Mourinho pernah melontarkan kritik pedas kepada klub kaya Manchester City. Klub tetangga Manchester United itu diakui Mourinho memiliki sokongan ekonomi yang tak terbatas. Bisa dibilang, City adalah klub sepak bola dengan tingkat ekonomi terkaya.
Namun, semua pujian Mourinho itu hanya sebatas kata-kata. Karena, di lapangan sepak bola, lanjut pria Portugal itu, uang tak selamanya bisa mengantarkan piala.
Memang, ucapan Mourinho itu bisa dibilang sedikit keliru karena City faktanya bisa meraih gelar Liga Primer Inggris.
Namun, dalam ajang yang lebih besar, seperti Liga Champions, ucapan Mourinho banyak benarnya. Klub papan bawah Inggris yang disulap jadi raksasa dengan uang milik miliuner Arab ternyata belum bisa berbuat apa-apa.
Ya, dalam ajang sepak bola yang punya prestise tinggi, uang memang bukan segalanya. Terlebih, dalam ajang sekelas Piala Dunia.
Negara yang berekonomi kaya bukan berarti memiliki tim nasional yang mumpuni. Walau dengan uang mampu mendatangkan pelatih kelas dunia atau menaturalisasi pemain impor, negara kaya, seperti Uni Emirat Arab, baru dalam level bermimpi ke Piala Dunia.
Negara yang memiliki pendapatan per kapita tertinggi, Qatar, bahkan baru bisa ke Piala Dunia dengan kesuksesan lobi di luar lapangan. Namun, di atas lapangan, Qatar masih jadi bulan-bulanan.
Sebaliknya, malah menjadi ajang bagi negara berekonomi miskin macam Pantai Gading, Kamerun, Nigeria, dan Ghana. Pantai Gading bahkan menjadi negara termiskin yang ikut Piala Dunia dengan pendapatan rata-rata penduduknya kurang dari Rp 25 juta per tahun (sekitar 1.700 dolar AS).
Namun, dengan rata-rata pendapatan warganya yang di bawah upah minimum Provinsi DKI Jakarta itu, Pantai Gading nyatanya mampu berprestasi di atas lapangan Piala Dunia. Bahkan, dari keluarga yang hanya berpenghasilan Rp 2 juta per bulan, lahir bintang-bintang macam Yaya Toure atau Didier Drogba.
Tidak hanya Pantai Gading, peserta Piala Dunia 2014 umumnya berkategori negara berekonomi menengah. Merujuk data International Monetary Found (IMF) pada 2012, dari 20 besar negara dengan tingkat pendapatan ekonomi penduduk tertinggi, hanya enam negara yang berhasil lolos ke Piala Dunia. Keenam negara peserta Piala Dunia yang memiliki tingkat ekonomi tertinggi itu adalah Amerika Serikat, Swiss, Australia, Belanda, Jerman, dan Belgia.
Khusus untuk Belanda dan Jerman, prestasi kedua negara sudah tak usah dipertanyakan. Sebab, halaman sejarah sepak bola dunia sudah sering mencatat kedua negara dengan tinta emas. Jadi, bukan sebuah keanehan jika hingga kini sepak bola Jerman dan Belanda tetap berprestasi.
Namun, menarik untuk mengkaji negara macam Belgia, Australia, Swiss, dan Amerika. Ada faktor ekonomi yang mendorong majunya sepak bola di negara itu. Amerika, misalnya. Dengan dukungan dana dan kreativitas, Amerika mampu menciptakan liga sepak bola domestik yang berkualitas.
Dari liga yang berkualitas itu, lahir pemain macam Tim Howard, Landon Donovan, dan Clint Dempsey. Pemain itulah yang kini jadi kunci Amerika lolos ke Piala Dunia 2014. “Level permainan Amerika terus meningkat tajam. Ini berkat kompetisi MLS,” aku Clint Dempsey seperti dikutip LA Times.
Negara seperti Belgia dan Swiss lain lagi. Majunya ekonomi kedua negara membuat banyak imigran masuk ke dua negara itu. Dari imigran Belgia macam Eden Hazard atau Xherdan Shaqiri di Swiss, prestasi pun dapat diraih. Kini, deretan imigran jadi kunci Swiss dan Belgia pada Piala Dunia 2014.
“Belgia dengan kekuatan pemain yang ada kini siap menantang siapa pun di Piala Dunia. Kami siap berprestasi,” ujar pemain Belgia berdarah Maroko, Eden Hazard, seperti dikutip Reuters.
Namun, seperti dikatakan Mourinho, kekuatan uang tak selamanya memberi prestasi. Nyatanya, dari enam negara terkaya itu, hanya Jerman yang mampu meraih prestasi dalam ajang sepak bola empat tahunan.
Di sisi lain, 10 negara peserta piala dunia dengan pendapatan per kapita terendah adalah Brasil, Kolombia, Ekuador, Bosnia Herzegovina, Aljazair, Honduras, Ghana, Nigeria, Kamerun, dan Pantai Gading.
Dari deretan negara itu, terangkai fakta bahwa kualitas kompetisi domestik di negara berekonomi menengah sampai ke bawah itu masih jauh dibanding kompetisi di negara maju macam Spanyol, Italia, dan Inggris.
Namun, negara-negara itu nyatanya mampu tetap berprestasi tinggi. Itu semua karena kebijakan kompetisi di negara miskin itu yang lebih mengedepankan pemain muda lokal. Sebaliknya, pemain yang telah matang dari kompetisi di negara berekonomi menengah ke bawah langsung diekspor untuk bermain ke luar negaranya. Mereka diekspor untuk bermain dalam kompetisi negara kaya.
Tak heran negara macam Ghana punya Kwadwo Asamoah yang kini bermain di Liga Italia bersama Juventus. Bosnia punya Edin Dzeko, Redamel Falcao di Kolombia, Nigeria punya John Obi Mikel, dan Kamerun punya Samuel Eto'o.
Pemain-pemain asal kompetisi negara miskin itu pun bisa mengubah jalan hidupnya dari lapangan sepak bola. Dari lapangan sepak bola pula, negara miskin siap bermimpi di Piala Dunia 2014.
Sebab, Piala Dunia bukan kompetisi yang bisa dibeli dengan uang. Laiknya ucapan Mourinho, “Uang tak selamanya mampu membeli sejarah dan prestasi.”