Oleh: Guntur Cahyo Utomo, Pelatih Mental Tim Nasional U-19
Piala Dunia kali ini tidak memunculkan juara baru. Praktis, hanya Kolombia dan Belgia yang berstatus sebagai tim kejutan. Tapi, kedua negara itu pun rontok pada babak perempat final. Belgia harus tersingkir secara pedih dari Argentina, Kolombia juga harus pulang karena kalah dari tuan rumah.
Apa sebenarnya yang membuat negara-negara besar tersebut tidak tergoyahkan di pentas Piala Dunia? Secara kasat mata, pertandingan sepak bola di Piala Dunia juga hanya sebuah pertandingan sepak bola yang melibatkan 22 orang pemain di lapangan. Tapi, fakta membuktikan bahwa hanya negara-negara dengan tradisi besar dalam sepak bola yang mampu menembus partai puncak.
Dari kacamata psikologi, hal tersebut wajar jika hanya negara-negara besar yang tetap dominan. Piala Dunia, meskipun tidak berbeda dengan pertandingan sepak bola lain, memberikan tekanan yang lebih besar kepada tim-tim yang berlaga. Secara faktual, ini adalah turnamen terbesar di jagat raya ini. Semua mata di dunia tertuju pada perhelatan pesta empat tahunan ini. Wajar saja jika kemudian para pemain memersepsi turnamen ini sebagai turnamen yang memberi tekanan yang besar.
Kedua, tekanan muncul dari persepsi bahwa ini adalah adu gengsi antarnegara. Harga diri bangsa dipertaruhkan dan mengiringi pekerjaan mereka di lapangan. Beban nasionalisme ini berat lantaran caci-maki atau puja-puji telah menanti.
Ketiga, Piala Dunia menghadirkan jutaan mimpi yang luar biasa. Baik mimpi materi maupun yang bersifat nonmaterial. Kita lihat bagaimana timnas Spanyol dijanjikan miliaran uang jika mereka mampu kembali jadi juara dunia. Negara-negara lain pastilah juga melakukan hal itu. Selain mimpi berupa materi, mimpi lain yang menggantung dari Piala Dunia adalah mimpi kehormatan. Mereka pastilah sangat bahagia jika disambut bak pahlawan di negerinya masing-masing usai membawa pulang gelar juara.
Kesimpulannya, secara psikologis, Piala Dunia membawa tekanan yang luar biasa bagi para pemain dan semua staf yang mengiringinya. Untuk menghadapi tekanan tersebut, pola latihan yang benar atau bakat yang luar biasa pun tidak cukup untuk mengatasinya. Yang dibutuhkan adalah kultur atau budaya yang kuat terkait manajemen tekanan tadi.
Rasmus Arnesen dalam bukunya Gold Mine Effect menggarisbawahi bahwa untuk menjadi juara, tidak sekadar mempunyai fasilitas yang bagus atau bakat-bakat yang hebat. Tapi, dibutuhkan kultur yang konsisten untuk mengatasi tekanan yang datang secara kontinu. Dia melakukan riset di pusat-pusat pembinaan atlet terhebat di bumi ini, yaitu Jamaika, tempat lahirnya para sprinter top dunia, Kenya sebagai ladang pembentukan pelari jarak menengah, Etiopia yang selalu melahirkan pelari-pelari maraton pemecah rekor dunia, serta Rio de Jainero di Brasil sebagai medan munculnya pesepak bola kelas elite.
Dari semua tempat yang dia singgahi, kesimpulan yang dia ambil hasilnya sama, yaitu adanya budaya yang mapan untuk menjadi juara. Dari semua tempat tersebut, praktis tidak ada fasilitas yang sangat mewah dan kelas satu. Tapi, mereka masih tetap bisa berprestasi di tingkat dunia.
Kultur akan membantu masyarakatnya untuk mempunyai pola pikir tertentu dalam memandang sebuah tekanan. Kultur itu juga akan membangun ketidaksadaran bahwa mereka mampu mengatasi semua hambatan yang ada. Mereka secara tidak sadar sudah sangat terbiasa dengan cara menghadapi tekanan yang muncul sekelas Piala Dunia. Dalam kehidupan sehari-hari, sejak mereka masih kanak-kanak, mereka sudah bertemu dengan tekanan yang bersifat terus-menerus. Inilah ketidaksadaran kolektif bangsa untuk bisa tampil terbaik.
Ketidaksadaran kolektif inilah yang belum dimiliki oleh peserta Piala Dunia yang lain. Mereka masih menganggap diri mereka sebagai negara kecil yang cukup senang dengan gelar tim yang mampu mengejutkan lawan. Itulah mengapa pada pertandingan awal tampaknya permainan begitu imbang dan bakal banyak kejutan, tapi pada akhir turnamen hanya negara-negara tersebut pulalah yang pulang terakhir. Daya tahan mental untuk kompetitif dalam waktu yang lama hanya bisa diperoleh jika ketidaksadarannya sudah mengatakan mereka mampu.
Brasil dan Argentina beruntung karena secara kultural, masyarakat mereka memang sangat suka sepak bola. Di jalan-jalan Kota Rio atau Buenos Aires bisa ditemui anak-anak bermain bola dengan mudahnya. Kondisi tersebut telah melengkapi mereka dengan kata selalu mampu dan bisa.
Karena, situasi yang berat pun mereka lawan selama ini. Mereka terbangun oleh kultur masyarakatnya dan secara tidak sengaja memengaruhi kebijakan nasional. Sebaliknya, negara-negara mapan Eropa, seperti Jerman atau Belanda, kultur itu berasal dari negara, yakni melalui sistem yang tertata sehingga memengaruhi pola pikir masyarakatnya. Sistem pembinaan usia muda, fasilitas, dan kompetisi yang tertata dengan rapi sehingga mampu memberikan tekanan yang mencukupi untuk digunakan sebagai bekal para pemain tersebut.
Jadi, bagi negara yang menginginkan gelar Piala Dunia, mereka harus kembali melihat ke dalam negeri mereka. Bagaimana mereka bekerja dan etos seperti apa yang setiap hari mereka keluarkan untuk mencapai sesuatu.
Negara seperti Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar, tapi karena terlalu lama dininabobokan oleh segala macam kemudahan sehingga etos untuk berjuang itu menjadi rendah. Akibatnya, kita selama ini pelan-pelan dijajah dalam hal pikiran yang kemudian pikiran kita menjadi kerdil. Kita menjadi merasa sangat kecil, tidak mampu, tidak bisa, dan pasti kalah. Mentalitas seperti itulah yang meruntuhkan bangsa kita.