Jumat , 11 Jul 2014, 23:51 WIB

Mineirazo, Tragedi Selecao

Red: Didi Purwadi
David Luiz
Foto Reuters/Eddie Keogh

David Luiz

Oleh: Reja Irfa Widodo

Tragedi itu terjadi di Stadion Mineirao, Belo Horizonte, tepatnya di babak semifinal Piala Dunia 2014, Rabu (9/7) dini hari WIB. Timnas Brasil dihajar Jerman 1-7 tepat di depan muka pendukung setia mereka. Ingatan publik Brasil kembali 64 tahun lalu, saat tim Samba dikalahkan Uruguay 1-2 di partai final Piala Dunia 1950 di Stadion Maracana, Rio De Janiero.

Peristiwa kekalahan Brasil itu pun dikenang dengan sebutan Maracanazo atau secara bebas diterjemahkan menjadi pukulan besar terhadap Maracana. Saat itu, Brasil yang digadang-gadang bakal menjuara Piala Dunia 1950 di kandangnya sendiri harus gigit jari dan menelan kekecewaan lantaran dikalahkan Uruguay. Meski dalam sejarahnya Brasil akhirnya mampu merengkuh lima trofi Piala Dunia, kekecewaan di Maracana seolah menjadi hantu yang tidak bisa hilang dari benak publik Brasil.

Kini, kekecewaan itu bertambah dengan sebuah rasa kecewa atas kekalahan memalukan dari Jerman 1-7, selisih gol yang bahkan tidak pernah dirasakan Brasil dalam 100 tahun sejarah sepak bola mereka. Piala Dunia 2014 memang banyak menciptakan rekor dan sejarah baru. Tapi, justru rekor dan catatan buruklah yang ditorehkan tuan rumah di Piala Dunia 2014. Sebutan Mineirazo yang dilontarkan komentator televisi lokal Brasil sepertinya cukup menggambarkan bagaimana publik Brasil memaknai kekalahan dari Jerman tersebut.

''Mungkin, kami harus melupakan Maracanazo. Selama 64 tahun, kekalahan 1-2 dari Uruguay bisa dibilang sebagai momen paling sedih dalam sejarah tim Selecao. Tapi, kekalahan 7-1 dari Jerman sepertinya menggantikan kekecewaan yang terjadi di Piala Dunia 1950,'' ujar jurnalis sepak bola asal Brasil Antero Greco, seperti dikutip Irish Times, Rabu (9/7).

Masyarakat Brasil pun begitu kecewa dengan hasil yang diraih tim Samba. Kekecewaan itu terpancar jelas dari ekspresi kesedihan yang ditunjukan warga Brasil pascalaga. Terlepas dari cedera yang dialami Neymar dan absennya Thiago Silva, warga Brasil rasanya tidak pantas mendapati tim kesayangannya dibantai wakil Eropa, Jerman, di fase semifinal Piala.

''Saya sempat khawatir kami akan kalah karena absennya Neymar dan Thiago (Silva). Tapi, saya tidak menyangka, kami akan benar-benar dibantai. Saya berhenti menonton saat mereka mencetak gol kedua, tapi begitu saya kembali, mereka sudah mencetak enam gol,'' kata mahasiswa asal Brasil Alexa Rosatta, seperti dikutip the Hindustan Times.

Kekecewaan publik Brasil ini terasa kian besar jika menilik pengharapan warga Brasil sebelum gelaran Piala Dunia 2014. Bahkan, Menteri Olahraga Brasil Aldo Rebelo menyebut, obat yang paling manjur untuk bisa mengobati luka Maracanazo adalah meraih titel Piala Dunia 2014. Tapi, alih-alih melaju hingga final, Brasil malah tersungkur di fase semifinal.

''Kami tidak bisa lagi mengulang tragedi nasional, seperti di Piala Dunia 1950. Kekecewaan di Piala Dunia 1950 tidak hanya berpengaruh pada sepak bola Brasil, tapi juga pada kepercayaan diri kami sebagai bangsa,'' ujar Rebelo, dua bulan sebelum gelaran Piala Dunia 2014, seperti dikutip Reuters.

Secara khusus, kegagalan tim Samba di Piala Dunia 2014 ini dikhawatirkan berpotensi memicu kemarahan publik Brasil terhadap pemerintah, terutama lantaran besarnya dana yang digunakan untuk mempersiapkan Piala Dunia 2014. Sementara, di sisi lain Pemerintah Brasil dianggap tidak bisa memberikan jaminan terhadap kondisi permukiman dan kesehatan warga.

Sebelumnya, ribuan orang di sejumlah kota besar di Brasil sempat turun ke jalan dan melakukan protes serta mogok. Salah satunya yang terbesar ada di Sao Paulo, saat pegawai layanan transportasi publik sempat mogok.

''Satu-satunya hal bagus dari kekalahan ini adalah menurunya popularitas Dilma Roussef. Dia tidak akan terpilih lagi di pemilihan presiden pada Oktober mendatang. Semua politikus kami bahkan lebih buruk dari tim nasional. Tapi, kegagalan timnas ini benar-benar buruk, mungkin akan ada kerusuhan, orang-orang mencoba mengungkapkan kekecewaan mereka dengan merusak apa pun,'' kata Beth Araujo, mahasiswa jurusan biologi, seperti dikutip the Hindustan Times.

Kini, kekecewaan itu kembali memuncak. Usai kekalahan Brasil, sempat muncul sejumlah aksi unjuk rasa di sejumlah kota di Brasil. Tak hanya unjuk rasa, atmosfer Piala Dunia pun mendadak lenyap di Rio de Janeiro. Rio pun ibarat kota mati. Jadi, Brasil lautan tragedi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
jogobonito tulisan opini piala dunia 2014 piala dunia
Berita Terkait
Berita Terpopuler
Berita Lainnya