REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy/Wartawan Republika
Piala Dunia 2014 memang terasa sangat spesial dibanding edisi sebelumnya. Kespesialan ajang ini bukan hanya bagi tuan rumah maupun cerita tim peserta, melainkan kisah dari negara penonton sejati Piala Dunia, Indonesia.
Bagi Indonesia, Piala Dunia kali ini spesial karena bertepatan dengan ajang politik lima tahunan, Pemilihan Presiden (Pilpres 2014). Jadi, lebih spesial lagi karena Piala Dunia berputar saat dua kubu capres sedang panas-panasnya berseteru.
Piala Dunia pun jadi harapan rakyat akan adanya tontonan bermutu. Rakyat yang sudah jengah dengan aksi saling debat dan hujat. Banyak masyarakat yang ingin segera mengalihkan pandangannya ke lapangan Piala Dunia.
Keinginan rakyat untuk mendapat tontonan berkualitas pun terbukti pada babak penyisihan grup Piala Dunia 2014. Setiap partai pada babak penyisihan berujung dengan hujan gol. Total, ada 136 gol yang tercipta pada babak penyisihan. Jumlah ini menjadi rekor baru jumlah gol pada babak penyisihan melewati Piala Dunia 2002 yang menghasilkan 130 gol.
Namun, memasuki babak 16 besar, semua tontonan menghibur itu berubah. Piala Dunia mendadak seperti ajang para politik yang pragmatis. Masing-masing tim tampak terlalu fokus pada taktik ketimbang teknik.
Tak heran banyak pertandingan yang berlangsung dalam skor ketat dan menjemukan. Bahkan, tim sekelas Jerman harus bermain hingga babak tambahan waktu kontra Aljazair. Pun halnya Argentina yang harus susah payah menekuk Swiss.
Rumus-rumus adu taktik kembali menghiasai laga pada delapan besar. Bahkan, nyaris seluruh laga berlangsung membosankan, seperti Prancis versus Jerman. Laga itu seakan hanya menghasilkan satu momen, yakni sundulan Mats Hummels pada menit ke-13. Selebihnya, 77 menit laga jadi ajang adu taktik kedua pelatih yang tak menghasilkan apa-apa.
Pun halnya laga Argentina versus Belgia. Usai Gonzalo Higuain mencetak gol, laga kedua tim jadi membosankan. Pragmatisme dalam bermain tim Tango membuat karakter menyerang Lionel Messi cs sirna tak bersisa.
Kenyataan laga Piala Dunia yang menjemukan tak heran membuat gegap gempita di Brasil tak terlalu berasa di Jakarta. Sebaliknya, urusan pilpreslah yang lebih menyedot atensi masyarakat Indoenesia, terutama di dunia maya.
Hingga tiba akhirnya saat yang ditunggu masyarakat Indonesia, yakni saat pencoblosan pada 9 Juli. Namun, beberapa jam sebelum TPS dibuka, masyarakat Indonesia disajikan hiburan laga semifinal Piala Dunia 2014 antara Brasil dan Jerman.
Laga antara dua tim raksasa sepak bola dunia ini ternyata menjadi kisah terbesar sepanjang sejarah Piala Dunia. Sebab, hasilnya sungguh di luar prediksi dan akal sehat seluruh pengamat sepak bola.
Brasil, dengan atributnya sebagai tuan rumah dan tim tersukses di Piala Dunia, dilumat Jerman 1-7! Mendadak aksi pragmatis sepanjang fase knock out Piala Dunia 2014 terhapus oleh kemenangan sensasional Jerman.
Jadilah laga ini mencuri perhatian masyarakat Indonesia saat masa pencoblosan. Tak heran, obrolan soal kisah Brasil yang dilumat Jerman pada semifinal lebih mewarnai obrolan masyarakat di luar bilik suara.
Kisah dari lapangan Piala Dunia 2014 makin membahana setelah Argentina menaklukkan Belanda pada semifinal lainnya. Dengan hasil ini, Piala Dunia 2014 akan memunculkan laga klasik pada final, yakni Jerman versus Argentina.
Namun, seakan tak mau kalah dengan Piala Dunia, arena politik nasional kembali memunculkan kejutan bersejarah beberapa jam setelah pencoblosan. Untuk pertama kalinya, dua kubu capres sama-sama mengklaim meraih kemenangan. Ini tak terlepas hasil survei yang saling bertolak belakang.
Jadilah pemenangan Pilpres 2014 tak menentu, apakah Jokowi ataukah Prabowo. Semua kepastian finalnya baru terjawab pada 22 Juli di kantor KPU.
Di tengah ketidakpastian itu, rakyat Indonesia masih beruntung karena di sepak bola pemenangnya tak ditentukan lembaga survei atau penggiringan opini media. Pemenang Piala Dunia 2014 benar-benar akan ditentukan sesuai laga 90 menit yang akan berlangsung di Stadion Maracana di Kota Rio de Janeiro, Senin (14/7) WIB.
Mungkin hasil pada final Piala Dunia nanti bisa sedikit meredakan tensi politik di Indonesia yang sedang harap-harap cemas menanti hasil final pilpres pada 22 Juli. Sepak bola pun bisa jadi obat penawar ketegangan politik walaupun bisa juga jadi racunnya.
Ini seperti ungkapan kolumnis the Guardian, Martin Jacques, "Piala Dunia tidak sekadar ajang terbesar olahraga global, tapi juga bisa memengaruhi urusan budaya dan politik yang jauh lebih besar."