REPUBLIKA.CO.ID, BRASILIA -- Terus menjadi sasaran kritik terkait persiapan Piala Dunia 2014, pemerintah Brasil mencoba menepis keraguan banyak pihak. Menteri Olahraga Brasil, Aldo Rebelo, mengakui negaranya dapat melakukan persiapan lebih baik menjelang pembukaan Piala Dunia 2014 pada 12 Juni mendatang.
“Apa yang kami lakukan dan lakukan mencerminkan kemungkinan penyelenggaraan Piala Dunia di sebuah negara dengan kondisi Brasil,” kata Rebelo kepada Sambafoot, Ahad (16/3).
Membengkaknya biaya even empat tahunan terakbar di dunia sepak bola itu menuai kecaman berbagai elemen masyarakat Brasil. Untuk pembangunan sektor transportasi, bandara, keamanan, komunikasi, dan stadion, diperkirakan menelan dana 7,6 miliar poundsterling atau sekitar Rp 143 triliun.
Untuk mendapatkan anggaran sebesar itu, pemerintah mengurangi biaya kesehatan dan pendidikan. Hal itu tentu membuat marah kelompok masyarakat.
Melihat beberapa proyek pembangunan yang belum siap digunakan, Rebelo tetap optimistis negaranya siap menjadi tuan rumah yang baik. “Ini adalah kondisi bersejarah setiap negara. Kami akan melakukannya sesuai dengan kemampuan kami,” ujarnya.
Situasi semakin pelik setelah persiapan pembangunan dan renovasi 12 stadion terganggu. Dengan waktu kurang tiga bulan lagi, ditakutkan ada laga yang tertunda akibat maraknya insiden pekerja stadion yang menjadi korban
Disinggung langkah apa untuk membuat persiapan lebih baik, Rebelo hanya menjawab singkat. “Semuanya,” jawabnya.
Kritik terhadap ketidaksiapan Brasil sebenarnya sudah muncul sejak perhelatan Piala Konfederasi 2013. Pada Juni lalu, protes rakyat di seluruh negeri yang menyuarakan pendapatnya lantaran pembangunan besar-besaran berkaitan Piala Dunia 2014 membuat sarana infrastruktur lumpuh dan pelayanan publik tidak memadai.
Dalam menghadapi kondisi itu, sebagian besar menganggap perhelatan Piala Dunia sebagai sebuah limbah dengan memanfaatkan dana publik.
Dampaknya, dukungan warga Brasil untuk turnamen empat tahunan edisi ke-20 tersebut telah mencapai titik terendah sejauh ini. Diperkirakan hanya setengah dari kurang 200 juta penduduk yang mendukung acara tersebut.