REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Endro Yuwanto
Volksparkstadion, Hamburg, Jerman Barat. Di final Piala Eropa 1988, seorang striker Belanda menyambut umpan lambung. Dengan sedikit membalikkan badan, dari sudut yang sempit, ia melepaskan tendangan voli akrobatik ke sudut kanan atas gawang Uni Soviet. Gol! Belanda pun merengkuh trofi Piala Eropa dengan skor akhir 2-0.
Striker dengan akurasi tendangan voli yang tinggi itu ada lah Marco van Basten. Nama ini tentu tak asing bagi pencinta sepak bola pada akhir 1980-an dan awal 1990-an.
Bukan karena menjadi predator di gawang lawan yang menjadikan Van Basten begitu melegenda. Trofi Piala Eropa 1988 adalah bukti kehebatan Van Basten. Ini adalah trofi pertama bagi skuat De Oranje dalam turnamen ber gengsi in ternasional.
Hingga kini, belum ada yang mampu menyamai prestasi terbaik era Van Basten. Bahkan, seorang maestro total football, Johan Cruijff, pun hanya mampu mem persembahkan posisi runner-updi Piala Dunia 1974. Begitu pula Johan Neskeens yang lagi-lagi mengantar Belanda menjadi runner-up di Piala Dunia 1978.
Belanda sempat tampil memukau di Piala Dunia 2010 lalu. Namun, lagi-lagi, hanya menjadi runner-upsetelah ditaklukkan Spanyol di final. Lantaran seringnya Belan da gagal saat sudah di puncak, Cruijff suatu ketika melontarkan ung kapan filosofis yang begitu po puler, “ Football is simple. But the hardest thing is to play football in a simple way.’’
Agaknya, hanya Van Basten yang mampu membuktikan kata-kata Cruijff. Pada era sebelum dan sesudahnya, tak ada lagi trofi yang kembali ke pe lukan De Oranje. Padahal, setelah Basten gantung sepatu terlalu muda akibat cedera eng kel, sederet striker Belanda kerap dinobatkan sebagai ‘’the New Basten”. Sebut saja Patrick Kluivert, Ruud van Nistelrooy, Klaas Jan Huntelaar, hingga Robin van Persie.
Beberapa hari jelang Piala Eropa 2012, banyak peng amat memprediksi, Belanda bisa kembali seperti pada era Van Basten. Meski bergabung di grup neraka bersama Jerman, Portugal, dan Denmark, Belanda tetap dijagokan lolos ke perempat final. Terlebih, materi pemain tak banyak berubah dari skuat di Piala Dunia 2010.
Namun, Belanda justru menjadi bulan-bulanan di Grup B. De Oranje meraih hasil terburuk sepanjang keikutsertaan di Piala Eropa. Ini kali pertama Belanda menelan tiga kekalahan beruntun dalam laga resmi sejak 1905. Tragis memang. Tapi, itulah kenyataan pahit yang harus ditelan para penggawa asuhan Bert van Marwijk. Mimpi mengulang prestasi Van Basten menguap seketika.
Tapi ingat, Van Basten menjadi hebat bukan karena dirinya seorang. Ada rekan setim yang selalu mendukungnya. Dua na ma yang menonjol, Ruud Gullit dan Frank Rijkaard. Mereka juga membuktikan ketangguhannya di level klub, AC Milan.
Kehadiran trio Belanda itu pada akhir 1980-an dan awal 1990-an di Milan begitu mencengangkan. Milan pun menjelma jadi tim super dan sempat dijuluki the Immortals karena sulit dikalahkan.
Berbeda dengan era Van Basten. Meski dihuni sejumlah pemain bertalenta unggul, Belanda saat ini tak bermain sebagai tim yang solid. Banyak pemain yang terkesan egois dan individualis.
Van Persie, Arjen Robben, Huntelaar, dan Wesley Sneijder, seakan hanya ingin menunjukkan kelihaian skill mereka— mungkin agar laris di bursa transfer—tanpa memedulikan kepentingan tim. Kebetulan tak ada satu pun dari mereka yang bermain bersama di satu klub seperti era Van Basten. Ini masih ditambah suasana tim yang tak kondusif seusai penunjukan Mark van Bommel sebagai kapten tim. Ia tak lain adalah menantu Van Marwijk. Menjadi tak aneh lagi jika akhirnya Belanda harus angkat koper lebih cepat dari Polandia dan Ukraina. Karena, mereka sendirilah yang telah menggali kubur sendiri.