REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia (WFP) PBB David Beasley menceritakan kunjungannya ke daerah konflik di Yaman selama tiga hari. Di sebuah rumah sakit di ibu kota Sanaa yang menampung ratusan anak kekurangan gizi, ia melihat sebuah kaki kecil mencuat keluar dari bawah selimut.
Seorang pasien anak menatapnya dengan tatapan kosong dan ia mencoba untuk membuat anak itu tersenyum, namun gagal. Setelah beberapa kali mencoba membuat beberapa anak Yaman yang ia temui tersenyum, ia selalu gagal.
"Seperti menggelitik hantu," kata Beasley, kepada wartawan di New York, Jumat (16/11), sepulangnya dari kunjungan itu
Ia juga mengaku melihat bayi laki-laki berumur delapan bulan di rumah sakit itu yang Ibunya telah menempuh jarak ratusan mil melalui pos pemeriksaan militer untuk mendapatkan bantuan medis bagi buah hatinya. "Anak kecil itu meninggal kemarin," ungkap Beasley.
Lebih lanjut, Beasley menceritakan percakapannya dengan seorang dokter di rumah sakit. Sang dokter mengatakan setiap hari sekitar 50 anak yang datang, namun 30 anak yang terancam mati terpaksa ditolak.
"Kami hanya dapat mengakomodasi 20 anak'," ujar Beasley, mengutip perkataan dokter itu.
Beasley akan melakukan pertemuan dengan Dewan Keamanan PBB pada Jumat (17/11) waktu setempat, bersama dengan kepala bantuan PBB Mark Lowcock dan utusan AS Martin Griffiths. Keduanya sedang berusaha untuk menengahi perdamaian dalam konflik Yaman yang telah berlangsung selama lebih dari tiga tahun dan dilihat sebagai perang proksi antara Arab Saudi dan Iran.
Koalisi militer yang dipimpin Saudi telah mengintervensi perang Yaman pada 2015 dan mendukung pasukan Pemerintah Yaman yang memerangi kelompok Houthi yang bersekutu dengan Iran. Houthi sekarang menguasai sebagian besar wilayah Yaman, sementara Pemerintah Yaman yang diasingkan hanya menguasai sebagian wilayah selatan.
Perekonomian negara ini terus berada dalam krisis dan tiga perempat dari populasi Yaman, atau sekitar 22 juta orang, membutuhkan bantuan. Sebanyak 8,4 juta orang berada di ambang kelaparan, meskipun Lowcock telah memperingatkan bahwa kemungkinan angka itu akan meningkat menjadi 14 juta orang.
"Ini bukan di tepi malapetaka. Ini bencana. Anda tidak dapat menyelesaikan krisis kemanusiaan di Yaman hari ini dengan respons kemanusiaan saja. Yaman membutuhkan infus ekonomi likuiditas substansial. Keduanya akan mencegah kelaparan," kata Beasley.
Riyal Yaman telah kehilangan lebih dari setengah nilainya terhadap dolar AS sejak dimulainya perang. Melonjaknya harga telah menempatkan beberapa komoditas pokok di luar jangkauan bagi banyak warga Yaman. Bank sentral tengah berjuang untuk membayar gaji sektor publik yang banyak bergantung pada cadangan devisa yang semakin berkurang.
Beasley juga mengunjungi kota pelabuhan utama Yaman, Hodeidah, yang menangani 80 persen impor makanan dan pasokan bantuan ke negara itu. "Pelabuhan itu harus dilindungi dengan segala cara. Kami siap, jika perlu, jika semua pihak berkeinginan, agar PBB mengambil alih kapasitas operasional pelabuhan. Kami siap untuk melakukan itu," ungkapnya.