Sabtu 17 Nov 2018 21:41 WIB

Pakar Hukum Tata Negara: Proyek Kartu Nikah Harus Dibatalkan

Proyek kartu nikah Kementerian Agama belum melalui persetujuan DPR.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andri Saubani
Pasangan suami istri menunjukan kartu nikahnya seusai peresmian Aplikasi Pencatatan Nikah (SIMKAH) Web dan Kartu Nikah di Auditorium Kementerian Agama, Jakarta, Kamis (8/11).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Pasangan suami istri menunjukan kartu nikahnya seusai peresmian Aplikasi Pencatatan Nikah (SIMKAH) Web dan Kartu Nikah di Auditorium Kementerian Agama, Jakarta, Kamis (8/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menilai penggarapan proyek kartu nikah oleh perusahaan pemenang tender saat ini, tidak sah. Sebab, ia menilai, kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Agama (Kemenag) itu belum dibahas atau pun disetujui DPR sehingga seharusnya proyek tersebut dibatalkan.

"Tidak sah, maka mesti dibatalkan. Sudah ditenderkan, tapi kan anggarannya bermasalah, karena tidak pernah dibicarakan dengan DPR. Jadi bagaimana kita bilang ini sah. Sama saja dengan mencampurkan air kotor dengan air bersih," kata dia kepada Republika.co.id, Sabtu (17/11).

Margarito juga mempertanyakan sumber anggaran yang digelontorkan untuk proyek kartu nikah itu. Menurutnya, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin harus menjelaskan mengapa program kartu nikah itu tidak didiskusikan dengan DPR dan dari mana sumber dananya.

"Sekarang harusnya tanya Menteri Agama. Dia dapat duitnya dari mana. Menteri Agama harus jelaskan apa ekspektasinya di balik kartu itu. Kenapa beliau tidak mendiskusikan, membicarakannya pada DPR. Kok diam-diam kartu itu dimunculkan. Untuk apa? Untuk pilpres ini?," ucap dia.

Margarito berharap Menteri Lukman menghentikan kelanjutan proyek tersebut. Apalagi, menurut dia, kebijakan terkait kartu nikah ini tidak penting karena data pernikahan semestinya sudah terintegrasi dengan KTP-elektronik (KTP-el).

"Tanpa proyek itu kita sudah punya identitas. KTP-el sudah mewakili. Lewat KTP kelihatan sudah menikah. Proyek itu cuma habisin duit negara, dan bisa kita alihkan ke korban bencana Palu dan Lombok," ujar dia.

Anggota Komisi VIII Fraksi Partai Gerindra, Rahayu Saraswati mengakui, belum ada pembicaraan apa pun antara Kemenag dan DPR soal kartu nikah. Terlebih, kata dia, kebijakan itu dibuat Kemenag saat DPR reses.

"Ini kemenag buat isu sendiri. Belum ada pembicaraan apa pun dengan DPR. Apalagi karena ini keluar di masa reses. Jadi kami belum ada pembicaraan lebih tentang ini," papar dia.

Kasubdit Mutu Sarana Prasarana dan Sistem Informasi KUA Kemenag, Anwar Saadi mengatakan, tidak ada istilah bagi-bagi proyek dalam pengadaan kartu nikah yang baru diluncurkan Kemenag. Ia mengatakan, pengadaan kartu nikah dilaksanakan melalui tender terbuka dan dengan proses yang transparan.

Anwar menambahkan, proses tender dilakukan oleh LPSE Kemenag. Tetapi, ia enggan menyebutkan perusahaan yang memenangkan tender tersebut.

"Kalau dibilang bagi-bagi proyek itu keliru. Siapapun yang menang itu terbuka. Lalu siapa perusahaan pemenangnya, saya kira itu tidak usah diumumkan ke publik," jelas dia.

Dari penelusuran Republika di laman Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kemenag, diketahui bahwa tender proyek kartu nikah ini disebut dengan 'Penggandaan Kartu Nikah Ditjen Bimas Islam Tahun Anggaran 2018. Perusahaan yang berhasil mendapatkan tender tersebut adalah PT Pura Barutama.

Perusahaan ini menawarkan harga untuk penggarapan proyek sebesar Rp 688,6 juta. Pagu anggaran untuk proyek tersebut sebesar Rp 7,4 miliar. Sedangkan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dalam tender penggandaan kartu nikah itu sebesar Rp 1 miliar.

Awalnya, ada 25 perusahaan yang menjadi peserta tender proyek kartu nikah. Dari puluhan perusahaan ini, ada yang berbadan hukum CV dan PT. Ke-25 perusahaan itu disaring hingga menjadi tiga perusahaan.

Pesaing PT Pura Barutama adalah PT Solo Murni dan PT Trisakti Mustika Graphika. PT Solo Murni dalam proses tender tersebut menawarkan harga sebesar Rp 807,6 juta. Sedangkan, harga penawaran dari PT Trisakti Mustika sebesar Rp 862,4 juta.

Dalam proses tersebut, PT Solo Murni tersingkir karena beberapa hal. Antara lain, tidak melampirkan Sertikat SMK3/OHSAS 18001, tidak melampirkan sertifikat ISO 14001, ISO 9001 dan laporan keuangan terakhir yang sudah diaudit. Selain itu, pengalaman perusahaan juga dianggap tidak sesuai dan perusahaan.

Untuk diketahui, PT Pura Barutama yang berbasis di Kudus, Jawa Tengah, itu menawarkan harga di bawah dua perusahaan pesaingnya. PT Pura dalam harga penawaran memang lebih murah sedikitnya Rp 100 juta dari dua perusahaan yang bersaing.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement