Senin 19 Nov 2018 12:05 WIB

Perkawinan Anak Ancam Kegagalan Pembangunan Berkelanjutan

Indonesia menjadi negara ke-2 di ASEAN dengan jumlah perkawinan anak terbanyak.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Bayu Hermawan
Kampanye Gerakan Stop Perkawinan Anak (ilustrasi)
Foto: Aditya Pradana Putra/Antara
Kampanye Gerakan Stop Perkawinan Anak (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia menduduki peringkat ke-7 di dunia dan ke-2 di ASEAN dengan angka perkawinan anak tertinggi. Selain memengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), perkawinan anak juga memengaruhi Indeks Kedalaman Kemiskinan.

Dalam upaya menekan angka perkawinan anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) bersama The United Nations Population Fund (UNFPA) mengadakan workshop "Rumusan Strategi Model Pencegahan Perkawinan Anak di Daerah" yang menghadirkan praktik-praktik terbaik dari beberapa daerah terkait upaya perkawinan anak.

"Siapapun calon pengantinnya, baik salah satu, maupun kedua mempelai yang masih berusia anak, merupakan bentuk pelanggaran hak anak. Pelanggaran hak anak juga merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)," kata Deputi Perlindungan Anak Kemen PPPA, Lenny Rosalin dalam keterangan tertulis.

Lenny menuturkan, perkawinan anak, selain mengancam kegagalan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan memengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Selain itu juga memiliki korelasi yang positif dengan Indeks Kedalaman Kemiskinan.

Dari segi pendidikan, pasti banyak anak yang putus sekolah karena sebagian besar anak yang menikah dibawah usia 18 tahun tidak melanjutkan sekolahnya. Perkawinan anak juga berdampak pada kesehatan ibu dan anak. Jika usia anak telah mengalami kehamilan, maka mempunyai resiko kesehatan yang lebih besar terhadap angka kematian ibu dan anak dibandingkan orang dewasa karena kondisi rahimnya rentan.

"Sementara, dampak ekonominya adalah munculnya pekerja anak. Anak tersebut harus bekerja untuk menafkahi keluarganya, maka ia harus bekerja dengan ijazah, keterampilan, dan kemampuan yang rendah, sehingga mereka akan mendapatkan upah yang rendah juga," katanya.

Peneliti sekaligus dosen Universitas Paramadina, Suraya mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan anak. Antara lain ekonomi keluarga, utang keluarga yang dibebankan pada anak perempuan yang dianggap sebagai aset, pendidikan rendah, pendapatan rendah, interpretasi agama dan keluarga, serta stereotip pada anak perempuan.

"Fenomena lainnya yang menyebabkan tingginya angka perkawinan anak adalah tingginya tingkat kehamilan di kalangan perempuan muda," ucapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement