REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aktivis perempuan Rieke Diah Pitaloka menilai, ada kejanggalan pada surat pemanggilan Kejaksaan Negeri Mataram terhadap Baiq Nuril Maknun. Rieke mengaku, mendapat salinan surat panggilan Kejaksaan Negeri Mataram bernomor B-1109/P.2.10/11/2018 yang menyatakan memanggil terdakwa Baiq Nuril untuk menghadap Jaksa Penuntut Umum kejaksaan negeri Mataram tanggal 21 November 2018, pukul 09.00 WITA.
Menurut Rieke, alasan kejaksaan melakukan pemanggilan terhadap Nuril dalam rangka melaksanakan putusan Mahkamah Agung yang baru, berupa petikan. Jika salinan surat panggilan dari Kejaksaan Negeri Mataram tersebut benar, lanjut anggota DPR yang juga salah satu pengusul RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini, telah terjadi indikasi palanggaran yang dilakukan Kejaksaan Negeri Mataram. Kejaksaan Negeri Mataram diduga melanggar pasal 270 KUHAP yang mengatur pelaksanaan eksekusi baru menggunakan salinan putusan.
“Maka terindikasi kuat justru kejaksaan, jaksa terkait terindikasi kuat melanggar KUHAP. Surat panggilan eksekusi Baiq Nuril oleh Kejaksaan Negeri Mataram berpotensi cacat hukum,” tutur Rieke dalam keterangan pers kepada Republika.co.id, Ahad (18/11).
Baiq Nuril (40) dan suami, Lalu Muhammad Isnaeni (40), yang divonis bersalah karena dianggap menyebarkan percakapan mesum Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram di rumahnya, di Perumahan BHP Telagawaru, Labuapi, Lombok Barat, NTB, Rabu (14/11)
Rieke menegaskan, alasan jaksa yang berpedoman terhadap Surat Edaran MA yang membolehkan eksekusi hanya berdasarkan petikan putusan, tidak dapat dibenarkan. Sebab, posisi UU KUHAP di atas Surat Edaran MA. Menurut politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini, hingga Ahad (18/11), salinan resmi putusan MA belum diterima baik oleh tim kuasa hukum Ibu Nuril, maupun Pengadilan Negeri Mataram dan Kejaksaan Negeri Mataram.
Rieke mengaku, memantau dan mengawal langsung persidangan terbuka kasus Nuril yang dituduh melanggar UU ITE tidak bisa dibuktikan. Dalam proses persidangan yang berlangsung sejak 10 Mei 2017, disampaikan fakta hukum Nuril bukan pihak yang melakukan tindakan mentransmisikan atau mendistribusikan rekaman percakapan asusila yang dituduhkan kepadanya.
Berdasarkan keterangan saksi ahli dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, ungkap Rieke, memperkuat fakta Nuril bukan pelaku penyebaran konten. Hasilnya, majelis hakim PN Mataram memutus bebas Ibu Nuril karena tidak memenuhi pidana pelanggaran UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Namun, putusan MA justru mengabulkan kasasi yang dilakukan Kejaksaan Negeri Mataram dan memvonis Ibu Nuril. “Putusan Mahkamah Agung terhadap Baiq Nuril terindikasi kuat mengabaikan fakta persidangan Baiq Nuril di PN Mataram,” tegas Rieke.
Atas kasus ini, Rieke menyatakan, menolak eksekusi terhadap Nuril terkait kasus percakapan asusila. Rieke juga mengimbau, pihak terkait untuk mengawasi kinerja Kejaksaan Negeri Mataram atas kasus yang menimpa Ibu Nuril ini. Nuril yang merupakan staf TU di SMAN 7 Mataram terjerat kasus dugaan penyebaran percakapan asusila Kepala Sekolah SMU 7 Mataram, Muslim.