Senin 19 Nov 2018 07:48 WIB

Kebijakan DHE Mestinya Tidak Pukul Rata

Masih banyak industri yang bergantung pada bahan baku impor.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Friska Yolanda
Ilustrasi ekspor impor.
Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Ilustrasi ekspor impor.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi dari CORE, Moh Faisal menilai pemberlakukan kebijakan pengembalian Devisa Hasil Ekspor (DHE) dalam paket kebijakan ekonomi 16 semestinya tidak dipukul rata. Sebab, pemberlakukan DHE ini bagi sebagian industri yang masih bergantung pada bahan baku impor malah menjadi persoalan baru.

Faisal menilai pengusaha yang masih bergantung pada bahan baku impor menyimpan dananya di perbankan luar negeri untuk bisa membeli bahan baku lagi untuk produksi yang selama ini transaksinya menggunakan dolar AS. Jika mereka harus berulang kali melakukan konversi maka akan menelan kerugian selisih kurs.

"Kebijakan DHE yang sektor yang ketergantungannya terhadap bahan baku impor rendah ini malah jadi blunder. Eksportir tidak menyimpan uang, mereka masih butuh untuk beli bahan baku dari luar negeri. Ini persoalannya fundamental. Itu misalya dilarang, ini jadi disinsentif terutama sektor impor yang tinggi," ujar Faisal saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (18/11).

Faisal mencontohkan sektor industri yang masih bergantung pada bahan baku impor seperti Farmasi, Otomotif dan Elektronika. "Sektor ini ketergantungan impornya masih sangat tinggi," ujar Faisal.

Meski begitu, kata Faisal, untuk industri yang tidak banyak tergantung bahan baku impor memang menjadi angin segar. Meski di satu sisi pemerintah perlu mengkaji lagi besaran insentif seperti apa untuk bisa menarik minat para eksportir agar mau menaruh uangnya ke perbankan dalam negeri.

"Return yang lebih tinggi itu semestinya lebih gitu, ini juga insentif. Ratenya lebih baik. Insentif harus ditambah, selama ini eksportir ini kendalanya banyak, perizinan dan sekarang DHE. Untuk terus bisa meningkatkan keinginan mereka, tentu perlu banyak insentif," ujar Faisal.

Terkait paket kebijakan yang terbaru, Faisal menilai tidak akan membuahkan hasil yang signifikan dalam iklim investasi. Hal ini disebabkan oleh kondisi ekonomi global yang masih akan melambat hingga tahun depan.

"Efektivitasnya kecil terhadap investasi. Satu permasalahannya, untuk investasi asing, kita bersaing dengan negara lain. Ditambah lagi, terutama di tahun depan. Ekonomi global itu melambat, jadi ekonomi melambat, investasi juga melambat, investor menunggu lebih baik," ujar Faisal.

Menarik investasi asing besar-besaran akan menjadi pekerjaan rumah baru bagi pengusaha lokal. Sebab, apabila maksud pemerintah menarik investasi asing ke dalam ini untuk memberikan nilai tambah bagi perekonomian, maka hal tersebut tidak akan tercapai.

"Terutama kepemilikan asing luas, mengurangi keterlibatan pengusaha lokal. Asing itu nilai tambahnya dikit, keuntungannya hanya pajak, tenaga kerja tapi nilai tambahnya kembali ke luar negeri, repratiasi, bahan baku juga dan modal juga dari luar negeri," ujar Faisal.

Ia menilai saat ini mestinya pemerintah memperkuat industri dalam negeri sehingga bisa mendorong perputaran perekonomian. Hal ini lebih penting dijaga agar perekonomian bisa terus berjalan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement