REPUBLIKA.CO.ID, OUAHIGOUYA -- Pendidikan menjadi korban kekrasan militan di Burkina Faso. Ratusan sekolah harus tutup, guru-guru berhenti mengajar, dan siswa memilih mengamankan diri di rumah.
Dilansir Arab News pada Senin (19/11), lebih dari tiga tahun serangan dan ancaman kelompok Islam radikal menyebabkan penutupan lebih dari 300 sekolah. Di sebelah timur negara Afrika Barat, kini terjadi penutupan sekolah.
"Mereka (para militan) secara perlahan membunuh pendidikan," kata salah satu pengajar di sekolah dasar di kota kecil Nenebouro, dekat perbatasan dengan Mali, Kassoum Ouedraogo.
Ouedraogo mengisahkan, satu rekannya dibunuh pada 2016. Bahkan, pada tahun lalu para guru merasa ancaman keamanan sangat berbahaya. Karena itu, mereka memutuskan menutup sekolah.
Ouedraogo pindah ke ibukota daerah utara Ouahigouya, tetapi tidak luput dari rasa takut. “Mereka tidak ingin sekolah Prancis, mereka ingin sekolah dalam bahasa Arab,” ujar Ouedraogo menggambarkan bagaimana para guru diancam oleh Islamis yang marah tentang pendidikan gaya Barat.
Burkina Faso adalah bagian dari wilayah Sahel yang luas. Daerah itu telah berubah menjadi sarang ekstremisme, kekerasan, dan pelanggaran hukum sejak kekacauan melanda Libya pada 2011, pengambilalihan Islam Mali utara pada 2012, dan munculnya Boko Haram di Nigeria utara. Meskipun ada upaya internasional untuk menciptakan operasi militer anti-militan transnasional bernama pasukan Sahel G5, situasinya semakin memburuk.
Laporan terbaru yang disampaikan kepada Dewan Keamanan PBB memperingatkan, keamanan memburuk dengan cepat selama enam bulan terakhir di daerah antara Burkina Faso, Mali, dan Niger. Sebab, serangan menyebar ke Burkina Faso timur. Menurut laporan resmi pada September, sebanyak 229 orang tewas dalam serangan Islam di Burkina Faso sejak 2015, termasuk tiga serangan besar di ibukota Ouagadougou.
Guru lain yang enggan disebutkan namanya mengatakan serangan militan telah menghancurkan sekolah tempatnya mengajar. Dia mengisahkan suatu hari, orang-orang bersenjata tiba di desa. Beberapa siswa berlari untuk memperingatkannya.
“Kami bersembunyi ke semak-semak. Orang-orang menembaki pintu-pintu sekolah, lalu mereka membakar semuanya di dalam,” kata dia. Bahkan, dia menolak menyebutkan daerah sekolah tempatnya mengajar itu.
Meningkatnya keberanian para pejuang militan di bekas jajahan Prancis mencerminkan ketidakmampuan pemerintah untuk melindungi warganya di seluruh penjuru negeri. Para guru dan serikat pekerja memperingatkan, ribuan anak-anak menghadapi ancaman kehidupan tanpa akses ke sekolah. Kecuali, pemerintah meningkatkan perjuangan melawan teror yang semakin meningkat.
Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian mengunjungi Ouagadougou bulan lalu. Dia mengumumkan pemberian paket bantuan sebesar 30 juta euro (34 juta dolar AS) untuk Burkina Faso, Mali, dan Niger. Uang dipandang penting untuk meredakan kondisi yang memungkinkan pemberontakan militan berkembang.
"Orang-orang tidak lagi pergi ke sekolah, pemerintah telah melarikan diri," kata guru dan anggota LSM Balai Citoyen, Ly Boukary.