REPUBLIKA.CO.ID, "Biarkan saja anak saya berjalan sendiri. Jangan ditarik-tarik begitu!" Susilawati (48 tahun) menirukan teriakan yang ia lontarkan kepada petugas Satpol PP pada Jumat (9/11) lalu. Saat itu, petugas membawa dirinya dan anaknya, RS (12 tahun), ke markas Satpol PP Kota Padang untuk diamankan dan dimintai keterangan.
Tanpa babibu, aparat berseragam coklat-coklat langsung mengerubungi keduanya di sudut Ruang Terbuka Hijau (RTH) Imam Bonjol, masih satu kompleks dengan Pasar Raya Padang. Bagi Susilawati, pagi itu dia merasa seperti pelaku kriminal yang menimbun dosa besar. Ia diringkus, digiring, dan diinterogasi.
"Petugas kasar sekali membawa kami. Kasihan anak saya," katanya lagi.
Sebetulnya Susilawati tak heran dirinya digelandang ke markas Satpol PP. Beberapa hari sebelumnya, kisah tentang anaknya mendadak viral di media sosial. Pemberitaan media juga masif bermunculan tentang anaknya yang diikat di sebuah pohon di RTH Imam Bonjol.
Foto-foto yang menunjukkan sebuah tali melingkari perut anaknya, RS, juga tampil di media massa. Judul-judul berita juga mengiaskan 'ibu tega mengikat anak kandungnya'. Opini masyarakat pun mengerucut pada satu penghakiman: sang ibu salah besar karena tega mengikat anaknya sendiri di sebuah pohon. Padahal Susilawati belum bersuara.
Susilawati mengaku sedih dengan pemberitaan yang berseliweran, termasuk dengan pandangan pedagang dan pejalan kaki di kawasan Pasar Raya makin sinis terhadap dirinya. Ia bahkan sempat menutup diri, hingga akhirnya aparat Satpol PP membawa dirinya dan RS untuk diamankan.
"Saya sedih melihat anak saya sendiri difoto dalam kondisi terikat seolah seperti hewan yang diikat. Padahal mereka tak tau apa yang saya alami. Mereka tak paham bahwa anak ini saya ikat demi keselamatan dia, saya sayang dia," jelas Susilawati, ditemui di sudut RTH Imam Bonjol, tempat dirinya dan anaknya biasa beristirahat, Selasa (20/11).
Perempuan yang sehari-hari berjualan rokok eceran kepada sopir angkutan kota (angkot) di Pasar Raya Padang itu bahkan sempat tak beraktivitas selama dua hari setelah sempat dibawa ke markas Satpol PP. Ia merasa dihakimi atas pilihannya untuk merawat anaknya sendiri, dengan 'cara' yang ia yakini terbaik.
Barangkali bagi orang lain cara dia mengikat RS di pohon merupakan sebuah kejahatan. Namun bagi Susilawati hal itu adalah satu-satunya cara yang ia punya untuk tetap mampu menjaga dan merawat RS yang mengalami keterbatasan perkembangan mental.
Lantas apa yang sebetulnya terjadi sehingga Susilawati memutuskan mengikat RS di bawah pohon? Republika.co.id mencoba menggali kisah di balik kejadian ini, khususnya dari sudut pandang Susilawati, sang ibu.
Susilawati ditemui di sela aktivitasnya menjajakan rokok eceran di sudut Pasar Raya Padang, tak jauh dari bangunan bekas kantor wali kota Padang. Ia tak sendiri. Sejak kejadian 'penangkapan' oleh Satpol PP dua pekan lalu, Susilawati membawa anaknya ikut berjualan ke mana saja ia melangkah. Ia taat pada kontrak yang dibuat saat Satpol PP melepas dirinya dan anaknya, Susilawati tak lagi diperbolehkan mengikat anaknya di bawah pohon.
"Saya bawa RS ke mana-mana. Justru saya kasihan sama dia karena fisiknya lemah. Kalau terlihat lelah, saya istirahatkan dia di tempat teduh," ujar ibu dari tiga orang anak ini.
Susilawati kemudian menceritakan kisah anaknya, RS, yang mengalami keterbelakangan mental. RS kecil lahir pada 12 tahun lalu sebelum gempa besar melanda Kota Padang pada 2007. Saat itu Susilawati bekerja sebagai pedagang kantong plastik hitam (tas kresek) di Pasar Raya. Ia berjualan sambil menggendong RS. Susilawati mengaku belum menyadari ada perbedaan yang terjadi pada diri RS saat bayi. Baginya, RS tetap tumbuh layaknya bayi sehat pada umumnya.
"Saat anak saya dua tahun, saya curiga karena dia belum bisa jalan. Dia juga belum bergumam atau mulai bicara. Perkembangannya lambat, hingga usia empat tahun baru bisa berjalan," ujar Susilawati.
Menginjak usia sang anak enam hingga tujuh tahun, Susilawati mulai yakin bahwa RS mengalami keterbelakangan mental. Dirinya bukannya tak mau membawa RS ke dokter. Selain karena tak ada uang yang cukup untuk memeriksakan RS, Susilawati juga takut anaknya kesakitan karena mendapat berbagai macam pengobatan.
Susilawati akhirnya memilih merawat RS hingga saat ini seorang diri. Penghasilan Susilawati dari berjualan rokok dipakai untuk menghidupi tuga orang: Susilawati, anaknya, dan ibunya yang sudah renta.
"Tetangga juga pada bilang, kalau anak saya diperiksa nanti sumsum tulang diambil. Katanya bisa lumpuh. Saya tidak mau anak saya lumpuh atau kesakitan. Biarlah saya rawat begini," kata dia.
Susilawati mengaku sayang dengan anaknya, RS. Bahkan dirinya sempat menolak tawaran dari sejumlah panti asuhan untuk merawat anaknya. Susilawati juga menolak bantuan dari Wali Kota Padang Mahyeli Ansharullah agar anaknya dibina di Dinas Sosial. Bagi dirinya, sosok RS adalah teman hidup sekaligus pemberi semangat.
"Biarlah anak ini dengan saya. cuma anak ini pelipur lara saya," katanya.