REPUBLIKA.CO.ID, ZURICH -- Tindak kekerasan dalam bentuk rasialisme yang dilakukan penonton masih terjadi pada banyak pertandingan di berbagai belahan dunia. Sebagian besar suporter tidak tahu bagaimana cara melaporkan kejadian itu, demikian hasil sebuah survei internasional yang diumumkan Selasa (20/11), seperti dikutip Reuters.
Lebih setengah dari 27 ribu suporter yang diwawancarai mengakui bahwa mereka sering mendengar teriakan bernada rasialis dari tribun penonton pada satu pertandingan. Wawancara dilakukan oleh oleh Kick It Out, sebuah organisasi anti-diskriminasi Inggris, dan Forza Football dari Swedia, di 38 negara. Kick It Out dan Forza Football mengatakan, hasil survei tersebut bisa memperkuat upaya pengurangan poin jika terjadi tindak rasialisme dari penonton sebuah klub.
Sebanyak 60 persen suporter yang diwawancarai mendukung ide agar poin satu tim dikurangi sebagai hukuman atas sikap pendukung mereka. Selama ini, tim-tim yang pendukungnya bertindak rasialis hanya dihukum denda, atau bertanding tanpa penonton.
"Organisasi sepak bola, termasuk FA, UEFA dan FIFA, harus berbuat lebih banyak untuk mempromosikan metode pelaporan tindak rasilisme. Mereka harus mendengarkan tuntutan pendukung dan klub atau negara yang pendukung mereka bersikap rasialis harus mendapat sanksi lebih keras, termasuk pengurangan poin," kata Herman Ously, Ketua Kick It Out.
Aksi rasialis yang terjadi di Inggris dapat dilaporkan oleh Kick It Out dalam bentuk dalam jaringan atau aplikasi.
Hasil survei juga mengungkapkan bahwa proporsi suporter yang menyaksikan tindak rasialisme tertinggi terdapat di tiga negara Amerika Latin, yaitu Peru (77 persen) dan Kosta Rika serta Kolombia yang masing-masing 71 persen.
Sebanyak 84 persen dari pendukung merasa lebih nyaman dengan seorang pemain yang berasal dari latar belakang etnis atau ras berbeda, dibanding etnis mereka sendiri yang mewakili negara atau klub. Namun angka untuk situasi seperti itu berbeda-beda mulai dari 95 persen di Norwegia, sampai 19 persen di Uni Emirat Arab, 15 persen di Lebanon dan hanya 11 persen di Arab Saudi.
"Kemajuan lebih jauh tidak mungkin bisa dicapai sampai organisasi sepak bola berani dalam usaha memberantas rasialisme dari semua tingkatan," kata Ousely.