REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Wakil Bupati Bekasi Eka Supria Atmaja, dalam penyidikan kasus suap pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Eka dijadwalkan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro (BS).
"Yang bersangkutan sebagai saksi untuk tersangka BS terkait kasus suap pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (21/11).
Eka saat ini menjadi Plt Bupati Bekasi setelah Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin dinonaktifkan pasca ditetapkan sebagai tersangka kasus suap perizinan Meikarta tersebut. Selain memanggil Eka, KPK juga memanggil tiga saksi lainnya dalam penyidikan kasus tersebut, yaitu Kabid Pengendalian DPMPTSP Provinsi Jawa Barat Diding Abdullah, mantan Kasie Pengelolaan PSDA Dinas PUPR M Urip Karisabanu, dan pelaksana Seksi Pencegahan Andi Dwi Prasetyo.
Dalam penyidikan kasus Meikarta tersebut, fokus utama KPK saat ini adalah rangkaian peristiwa terkait proses perizinan baik rekomendasi dari dinas-dinas yang diduga adanya indikasi backdate atau penanggalan mundur. KPK juga terus menelusuri sumber uang suap terkait proyek Meikarta tersebut.
KPK pun menemukan adanya ketidaksesuaian keterangan saksi dari pejabat dan pegawai di Lippo Group yang telah diperiksa dalam penyidikan kasus Meikarta itu. KPK total telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus itu antara lain Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro (BS), konsultan Lippo Group masing-masing Taryudi (T) dan Fitra Djaja Purnama (FDP), pegawai Lippo Group Henry Jasmen (HJ), Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamaludin (J), Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi Sahat MBJ Nahor (SMN).
Selanjutnya, Kepala Dinas Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Bekasi Dewi Tisnawati (DT), Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hassanah Yasin (NHY), dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi (NR).
Diduga, pemberian terkait dengan izin-izin yang sedang diurus oleh pemilik proyek seluas total 774 hektare yang dibagi ke dalam tiga fase/tahap, yaitu fase pertama 84,6 hektare, fase kedua 252,6 hektare, dan fase ketiga 101,5 hektare.
Pemberian dalam perkara ini, diduga sebagai bagian dari komitmen fee fase proyek pertama dan bukan pemberian yang pertama dari total komitmen Rp13 miliar, melalui sejumlah dinas, yaitu Dinas PUPR, Dinas Lingkungan Hidup, Damkar, dan DPM-PPT.
KPK menduga realisasi pemberiaan sampai saat ini adalah sekitar Rp7 miliar melalui beberapa kepala dinas, yaitu pemberian pada April, Mei, dan Juni 2018. Adapun keterkaitan sejumlah dinas dalam proses perizinan karena proyek tersebut cukup kompleks, yakni memiliki rencana pembangunan apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit hingga tempat pendidikan sehingga dibutuhkan banyak perizinan, di antaranya rekomendasi penanggulangan kebakaran, amdal, banjir, tempat sampah, hingga lahan makam.