Rabu 21 Nov 2018 18:46 WIB

Perludem: Ada Saling Intai dan Cari Kesalahan Lawan Politik

Saling intai dan mencari celah kesalahan lawan politik ini memanaskan suhu poitik.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (perludem ) - Titi Anggraini
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (perludem ) - Titi Anggraini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengingatkan potensi suhu politik nasional memanas selama masa kampanye Pemilu 2019. "Kampanye yang melahirkan polarisasi dapat memanaskan suhu politik," ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, di Jakarta, Rabu (21/11). 

Dia mengatakan belakangan kampanye marak diisi dengan aksi saling lapor antara pendukung capres-cawapres terkait dugaan pelanggaran kampanye. Upaya saling intai serta mencari celah kesalahan lawan politik ini, menurut dia, dapat menimbulkan situasi tidak kondusif. 

Selain itu, kata Titi, narasi kampanye negatif yang dilontarkan kedua pasangan capres-cawapres, juga dapat meningkatkan suhu politik Tanah Air. "Isu-isu terkait tata kelola pemilu khususnya mengenai daftar pemilih juga kerap ditarik guna merugikan lawan politik. Seperti soal DPT, hak penyandang disabilitas yang seolah dikapitalisasi untuk kepentingan calon tertentu," ujar dia. 

Dia mengatakan netralitas penyelenggara pemilu juga merupakan faktor penting yang dapat meningkatkan suhu politik manakala penyelenggara terlihat memihak calon tertentu. Titi mengingatkan suhu politik yang memanas pada gilirannya dapat menimbulkan rasa tidak nyaman di masyarakat, sehingga berakibat masyarakat tidak acuh dan tidak mau menggunakan hak pilihnya. 

Sebelumnya analis politik dari Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago memandang kampanye pilpres hingga saat ini masih dangkal gagasan dan isu substantif. Pangi melihat kampanye yang dilakukan dua kandidat capres-cawapres justru menampilkan lelucon politik saling sindir. 

"Mereka saling sindir dengan melontarkan diksi dan frasa seperti politik sontoloyo, politik kebohongan, politik genderuwo, tampang Boyolali, budek/buta, tempe setipis ATM, impor ugal-ugalan, dan lain-lain," kata Pangi. 

Dia menekankan diksi dan frasa tersebut pada akhirnya hanya membuat bising dan memekakkan ruang opini publik dan sama sekali tidak memberikan pendidikan politik.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement