Rabu 21 Nov 2018 22:45 WIB

TKN Bantah ODGJ Digunakan untuk Manipulasi Suara di Pemilu

Hasto mengatakan keikutsertaan ODGJ dalam pemilu merupakan bagian dari demokrasi.

Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto membantah anggapan soal keikutsertaan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dalam pemilu tahun 2019 sebagai manipulasi penggalangan suara. Menurut juru bicara Tim Kampanye Nasional ini, peran ODGJ dalam pemilu merupakan bagian dari demokrasi karena dimungkinkan oleh KPU.

"Kami tidak perlu ragu-ragu ada manipulasi, sejak awal kami punya komitmen meningkatkan demokrasi, kualitas demokrasi kualitas DPT itu tanggungjawab kita semua," kata Hasto di Jakarta, Rabu (21/11).

Hasto mengatakan, dalam pemilihan umum seluruh warga negara yang memiliki hak pilih harus dapat menyampaikan preferensi terhadap politik meskipun warga negara itu memiliki gangguan kejiwaan. "Oleh campur tangan negara bisa sembuh bisa diobati dengan baik sanatorium diperbanyak itulah yang harusnya dilakukan tetapi memilih dengan kesadaran," ujarnya.

Baca juga: KPU Izinkan Penyandang Disabilitas Mental Masuk DPT

Sebelumnya, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan, penyandang disabilitas mental boleh menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum (pemilu) 2019. Namun, ada persyaratan yang harus dipenuhi sebelum mereka menggunakan hak pilihnya.

Pramono menjelaskan, PKPU Nomor 11 Tahun 2018 tentang penyusunan Daftar Pemilih sudah mengatur tentang memperbolehkan penyandang disabilitas mental untuk mempergunakan hak pilih. KPU juga sudah menindaklanjuti aturan ini dengan mengirimkan surat edaran (SE) tertanggal 13 November kepada KPU provinsi, kabupaten dan kota. Ditambah lagi, ada rekomendasi dari Bawaslu yang meminta untuk mengakomodasi hak pilih penyandang disabilitas mental.

"Selain itu, ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135 Tahun 2015. Gangguan jiwa atau kehilangan ingatan itu kan tidak permanen. Maka jika tidak didaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), kemudian ketika pemungutan suara sudah sembuh, mereka bisa kehilangan hak pilih," ujar Pramono ketika dikonfirmasi wartawan, Ahad (20/11).

Pramono melanjutkan, putusan MK juga menyatakan penyandang disabilitas mental bisa dimasukkan dalam DPT terlebih dulu. Kemudian, ketika hari H pemungutan suara, dan dinyatakan sehat secara kejiwaan oleh dokter, yang bersangkutan boleh menggunakan hak pilih. Sebaliknya, jika yang bersangkutan tidak mendapatkan rekomendasi atau surat keterangan bahwa sudah sehat dari dokter kejiwaan, dia tetap tidak bisa memilih.

"Jadi tetap dimasukkan ke DPT karena kesehatan mental atau jiwa itu sebetulnya juga gradasinya banyak, tidak semuanya permanen. Jadi hak pilihnya dulu yang dilindungi, sementara soal nanti mencoblosnya, itu harus dibuktikan dengan surat keterangan sehat dari dokter jiwa," tegasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement