REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta mengatakan, suara penyandang disabilitas mental tetap penting diakomodasi dalam pemilu. Suara mereka ikut menentukan arah kebijakan pemerintah untuk penyandang disabilitas pada umumnya.
Kaka menyatakan sepakat jika KPU mengakomodasi penyandang disabilitas mental dalam DPT. "Kebijakan ini juga penting untuk memperlakukan penyandang disabilitas secara inklusif. Karena itu, yang perlu diperhatikan adalah saat eksekusi di TPS nanti," ujar Kaka ketika dikonfirmasi, Rabu (21/11).
Menurut Kaka, seharusnya ada bimbingan teknis dan panduan khusus untuk petugas TPS. Sebab, akomodasi bagi penyandang disabilitas mental adalah hal baru yang sebelumnya belum pernah dilakukan.
"Harus diperhatikan apakah sudah ada pendamping di TPS, kemudian seperti apa tugas pendamping, pengawas," tuturnya.
Kaka melanjutkan sebaiknya semua pihak ikut mengapresiasi ide mengakomodasi penyandang disabilitas dalam pemilu. Secara umum, suara yang mereka berikan akan berguna bagi penyandang disabilitas itu sendiri.
Khususnya, terkait dengan program-program pemerintah atau wakil rakyat agar lebih ramah kepada penyandang disabilitas. Kaka menyebut, fasilitas umum yang ramah bagi penyandang disabilitas dan lapangan pekerjaan merupakan dua hal yang penting untuk diperhatikan pemerintah.
"Kalau ada wakil rakyat terpilih, mereka berhutang secara moril kepada penyandang disabilitas juga. Maka dengan adanya partisipasi yang tinggi dari penyandang disabilitas, suara mereka dipertimbangkan untuk membentuk kebijakan yang ramah mereka," tambahnya.
Sebelumnya, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan penyandang disabilitas mental boleh menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2019. Namun, ada persyaratan yang harus dipenuhi sebelum mereka menggunakan hak pilih.
Pramono menjelaskan, PKPU Nomor 11 Tahun 2018 tentang penyusunan Daftar Pemilih sudah mengatur tentang memperbolehkan penyandang disabilitas mental untuk mempergunakan hak pilih. KPU juga sudah menindaklanjuti aturan ini dengan mengirimkan surat edaran (SE) tertanggal 13 November kepada KPU provinsi, kabupaten dan kota.
Ditambah lagi, ada rekomendasi dari Bawaslu yang meminta untuk mengakomodasi hak pilih penyandang disabilitas mental. "Selain itu, ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135 Tahun 2015. Gangguan jiwa atau kehilangan ingatan itu kan tidak permanen. Maka jika tidak didaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), kemudian ketika pemungutan suara sudah sembuh, mereka bisa kehilangan hak pilih," ujar Pramono ketika dikonfirmasi wartawan, Ahad (20/11).
Dia melanjutkan, putusan MK juga menyatakan penyandang disabilitas mental bisa dimasukkan dalam DPT terlebih dulu. Kemudian, ketika hari H pemungutan suara, dan dinyatakan sehat secara kejiwaan oleh dokter, yang bersangkutan boleh menggunakan hak pilih.
Sebaliknya, jika yang bersangkutan tidak mendapatkan rekomendasi atau surat keterangan bahwa sudah sehat dari dokter kejiwaan, dia tetap tidak bisa memilih. "Jadi tetap dimasukkan ke DPT karena kesehatan mental atau jiwa itu sebetulnya juga gradasinya banyak, tidak semuanya permanen. Jadi hak pilihnya dulu yang dilindungi, sementara soal nanti mencoblosnya, itu harus dibuktikan dengan surat keterangan sehat dari dokter jiwa," tegas Pramono.
Dia menambahkan, sampai saat ini sudah ada sebagian penyandang disabilitas mental yang masuk ke DPT Pemilu 2019. Namun, dia mengakui jika belum semua penyandang disabilitas mental masuk ke DPT saat ini.
"Sebagian sudah masuk. Tetapi itu masuk dalam data penyandang disabilitas secara umum yang jumlahnya masih tercatat sebanyak 400 ribu orang," ungkapnya.