REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut seniman tari Didik Nini Thowok, sebagai warisan budaya dan tradisi Indonesia, seni tari lintas gender saat ini telah banyak dilupakan dan ditinggalkan oleh masyarakat khususnya generasi muda. Padahal sebelumnya tarian lintas gender adalah salah satu seni tari yang sering dibawakan di hadapan raja sejak zaman kepemimpinan Hamengkubuwono ke-I.
"Tradisi tarian lintas gender ini sudah ada sejak lama, namun tidak banyak generasi muda yang tertarik untuk mempelajarinya," kata Didik saat ditemui di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta, belum lama ini.
Tarian lintas gender merupakan sebuah tarian di mana penari memerankan karakter yang berkebalikan dengan jenis kelamin dirinya. Ketika di panggung, penari lintas gender akan memerankan seorang penari perempuan dengan segala atribut perempuannya, seperti memakai sanggul, kebaya dan riasan wajah, tetapi di luar panggung dia adalah laki-laki.
Penari Didik Ninik Thowok (kanan) saat tampil bersama Marwoto
Tidak hanya karakter perempuan yang dibawakan oleh pria, Didik menjelaskan, tarian lintas gender juga banyak yang dilakukan oleh perempuan untuk membawakan karakter pria. Salah satunya karakter Arjuna dalam pertunjukkan wayang orang Solo dulunya selalu diperankan oleh perempuan. Selain itu, ada juga tarian Baladewan dari Banyumasan.
Menurut pemilik nama asli Didik Hadiprayitno, tarian lintas gender sudah menjadi bagian dari tradisi Indonesia yang coraknya dapat dilihat mulai dari Pawestren (Jawa Timur), Bebancihan (Bali), Bissu (Sulawesi Selatan) hingga Randai (Sumatra Barat). Tarian tradisional itu juga sudah tertulis dalam babad maupun buku kuno seperti Centhiini.
Tidak hanya di Indonesia, seni tari lintas gender juga bisa ditemukan di sejumlah negara di dunia, salah satunya di Jepang. Bahkan Jepang sudah memiliki istilah sendiri untuk orang yang berprofesi sebagai penari lintas gender yaitu Onagata. "Kalau di Jepang saya dikenal sebagai Onagata, sayang di Indonesia belum punya istilah untuk penari lintas gender," kata pencipta tari Dwimuka ini.
Oleh karena itu, sebagai warisan budaya Indonesia, Didik mencoba mendekatkan kembali tarian ini dengan masyarakat khususnya anak muda. Walau bukan hal yang baru, bagi Didik, memperkenalkan tradisi tarian lintas gender ini bukanlah hal yang mudah. Di Indonesia, segala sesuatu yang berkaitan dengan lintas gender masih sangat tabu untuk diangkat.
"Tantangan terbesarnya yaitu tarian lintas gender kerap dikaitkan dengan LGBT. Padahal, itu merupakan dua hal yang berbeda," kata Didik.
Meski demikian, Didik mengaku cukup senang karena antusiasme anak-anak muda untuk mengenal dan mempelajari tarian lintas gender semakin meningkat. Sekolah seni dari beberapa daerah di Indonesia mulai banyak yang berani menampilkan seni tari lintas gender. Bahkan di Bali masih cukup mudah menemukan tarian Legong Wani yang dibawakan oleh pria.