REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus pornografi dan pencabulan yang menimpa anak di bawah umur di pemukiman padat penduduk, belakangan semakin sering terjadi. Kesibukan orangtua mencari nafkah, serta akses terhadap internet melalui telepon pintar, membuat anak-anak seringkali tumbuh tanpa pengawasan dan bimbingan yang memadai.
Hal ini terungkap dari kesaksian Aiptu Cecep Supriadi Binmas Polsek Tambora, Jakarta Barat, saat menghadiri kegiatan Penyuluhan Penyadaran Bahaya Pornografi yang dilakukan oleh Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi (MTP) di Aula Masjid Al Mubarokah, Tambora, Jakarta Barat, Kamis, 22/11/2018.
Hadir dalam kesempatan tersebut hadir pula Ahmad Bukhori, Ketua DKM Masjid Al Mubarokah, Mustofa selaku Bidang Kesra Kelurahan Angke, Ulfa Komariyah selaku Kepala Sekolah MI Al Khairiyah dan sekitar 100 orangtua siswa-siswi MI Al Khairiyah, Angke, Tambora, Jakarta Barat.
Cecep menceritakan, belum lama ini, ia menemukan beberapa kasus aksi pencabulan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur. Salah satu kasus dilakukan oleh seorang anak kepada anak lain akibat menonton materi pornografi melalui warnet.
Ada juga aksi seorang anak yang melakukan sodomi pada anak lain, akibat dendam karena pernah menjadi korban sodomi juga. Sedangkan kasus terakhir terjadi aksi pencabulan yang diduga dilakukan seorang anak kepada tetangganya yang sedang tertidur pulas.
“Anak-anak di bawah umur ini maksudnya adalah anak-anak yang belum berusia 12 tahun. Ada yang masih kelas 3 (tiga) atau 4 (empat) SD, bahkan ada yang masih kelas 1 SD. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan,” ungkap Cecep.
Untuk itu, Cecep menyambut, baik upaya Perhimpunan MTP melakukan penyuluhan penyadaran bahaya pornografi ke sekolah-sekolah seperti yang dilakukan di MI Al Khairiyah ini, agar masyarakat semakin sadar bahaya pornografi dan mau ikut peduli.
Ketua Umum Perhimpunan MTP Azimah Subagijo menyatakan, anak-anak di lingkungan padat penduduk memang rentan menjadi korban dan pelaku pornografi atau pencabulan. Hal ini, kata dia, karena keterbatasan lahan yang dimiliki warga seringkali menjadi sebab anak-anak menyaksikan aktivitas pribadi yang dilakukan orangtuanya sendiri maupun tetangganya.
“Anak-anak adalah peniru yang ulung. Termasuk bila yang dilihatnya adalah pornografi, baik melalui media apalagi yang ia saksikan secara langsung,” ujar Azimah dalam keterangannya kepada Republika.co.id.
Selain itu, menurut anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) periode 2010-2016 ini, kesibukan orangtua mencari nafkah, serta akses terhadap internet melalui telepon pintar, membuat anak-anak seringkali tumbuh tanpa pengawasan dan bimbingan yang memadai. Akibatnya anak-anak rentan mendapat pengaruh pergaulan negatif baik dari lingkungan, maupun dari media seperti pornografi.
“Pornografi sampai saat ini masih merupakan konten negatif media yang tertinggi diadukan masyarakat ke Kominfo. Sehingga anak-anak rentan terpapar pornografi bila dibiarkan menggunakan media terutama yang berbasis internet tanpa pengawasan," ujarnya.
Oleh karena itu, peningkatan kapasitas orangtua terkait bahaya pornografi dan dampak negatif media sangat penting untuk diupayakan secara terus menerus. Agar orangtua semakin memahami metode yang paling tepat menghadapi tantangan dalam mengasuh anak-anaknya di era digital seperti saat ini.
Penyuluhan kepada orangtua siswa Madrasah Ibtidaiyah Al Khairiyah, Angke, ini merupakan roadshow perdana di tahun 2018 yang dilakukan Perhimpunan MTP yang menjangkau sekolah tingkat dasar di kawasan Jakarta Barat. Kegiatan ini dilakukan Perhimpunan MTP sebagai bentuk upaya memperingati 10 tahun hadirnya Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.