REPUBLIKA.CO.ID, Kesultanan Aceh telah lama menjadi mitra penting dalam hubungan perdagangan dan politik sejumlah negara seperti India, Persia, dan Turki.
Aceh yang kaya dengan sumber daya alam dan mempunyai komoditas-komoditas unggulan dalam perdagangan juga membuat negara-negara eropa berdatangan ke negeri itu.
Begitu pun dengan Belanda yang mengutus dua bersaudara yakni Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman untuk menjalin hubungan dengan Kesultanan Aceh. Mereka tiba di Aceh pada 1599.
Namun kesultanan Aceh menolak kehadiran Belanda. Cornelis de Houtman tewas setelah terjadi bentrok dengan Kesultanan Aceh. Sedang saudaranya Federick de Houtman ditahan.
Ada hal yang melatarbelakangi Kesultanan Aceh menolak Belanda. Herry A Poeze dalam buku Di Negeri Penjajah menuliskan penjelasan J de Vries dalam majalah Eigen Haard 1896 menyebut tentang propaganda Portugis di balik penolakan Kesultanan Aceh terhadap kedatangan Belanda.
Portugis berupaya menghambat masuknya Belanda dengan menghasut Kesultanan Aceh. Propaganda itu dimaksudkan agar Portugis bisa memonopoli perdagangan rempah-rempah di Aceh. Portugis menggambarkan Belanda sebagi perompak yang tak memiliki tanah air dan suka menjarah.
“Itulah persaingan yang terjadi di negeri lada, dan orang Portugis berusaha sekuat tenaga mengusir pelaut-pelaut kita dan menggambarkannya kepada para sultan dan raja timur sebagai bangsa yang berbahya dan tidak bisa dipercaya,” tulis J de Vries.
Setelah tewasnya Cornelis de Houtmen, Belanda beberapa kali berupaya datang lagi ke Aceh. Tapi selalu gagal. Namun pada awal 1601, Belanda berhasil memperbaiki hubungan dengan Aceh.
Di tahun itu, Belanda mengirimkan utusannya untuk menyampaikan surat dari pangeran Maurits kepada Sultan Aceh. Di mana pada saat itu Kesultanan Aceh dipimpin Sultan Alauddin Riayat Syah dari Dinasti Darul Kamal.
Dalam surat itu, Sultan Maurits menjelaskan Sultan Aceh telah dibohongi Portugis yang menyatakan utusan-utusan dari Belanda merupakan perompak. Selain memberikan sepucuk surat, Belanda juga menghadiahi Sultan Aceh senjata hingga uang emas.
“Akibat surat itu dan juga tentunya hadiah berupa seribu keeping uang real emas, beberapa senjata bersepuh emas, cermin dan lain-lain telah terjadi titik balik yang menguntungkan Belanda,”
Kesultanan Aceh pun membebaskan Federick de Houtman dan memerintahkan sejumlah pejabatnya untuk pergi ke Belanda, selain untuk memberikan hadiah balasan juga untuk mencari informasi tentang negeri kincir angin itu. Salah satu yang paling utama yakni membuktikan pandangan yang berkembang di Aceh tentang orang kulit putih hanya Portugis dan Spanyol.
Sultan Aceh pun mengutus tiga orang, yakni duta besar Abdul Zamat, laksamana raja yaitu Seri Mohamat dan Meras San atau Abdul Hamid atau dikenal Sri Muhammad yang merupakan keponakan Sultan Aceh pergi melawat ke Belanda.