Ahad 25 Nov 2018 06:47 WIB

Krisis Kemanusiaan Imigran di Perbatasan AS-Meksiko

PBB diminta membantu imigran dari Amerika Tengah.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Anak-anak imigran yang ditampung dalam pusat detensi di daerah perbatasan di Amerika Serikat
Foto: Forbes
Anak-anak imigran yang ditampung dalam pusat detensi di daerah perbatasan di Amerika Serikat

REPUBLIKA.CO.ID, TIJUANA -- Wali Kota Tijuana mendeklarasikan krisis kemanusiaan di perbatasan kotanya dengan Amerika Serikat (AS). Ia meminta bantuan PBB untuk memenuhi kebutuhan hampir 5.000 imigran dari Amerika Tengah, yang kebanyakan dari mereka ditampung di dalam komplek olahraga.

Penyataan Wali Kota Juan Manuel Gastelum ini datang setelah pemerintahan kota dan sukarelawan membantu 4,976 laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang datang ke kota itu usai melalui perjalanan selama satu bulan. Selama beberapa pekan pemerintahan Presiden AS Donald Trump telah berusaha menahan laju rombongan imigran tersebut masuk ke negara mereka.

Trump menyebut para imigran tersebut sebagai para pejahat, anggota geng, dan bahkan dengan tanpa bukti yang jelas menyebut mereka sebagai teroris. Manuel Figueroa yang memimpin departemen sosial Tijuana mengatakan sudah menyediakan toilet dan kamar mandi portable serta sampo dan sabun tapi hal-hal ini masih belum cukup.

"Karena absennya, apatisnya, dan pengabaian pemerintah federal kami harus berpaling ke institusi internasional seperti PBB," kata Figueroa, Sabtu (24/11).

Rene Vazquez, 60 tahun, warga Tijuana yang menjadi sukarelawan di stadion olahraga tempat imigran ditampung mengatakan pemerintah federal Meksiko mengabaikan persoalan ini dengan mengizinkan rombongan imigran untuk menyeberang ke AS tanpa ada usaha menghentikan mereka. Kini kota berpopulasi 1,6 juta orang tersebut terancam ambruk.

"Saya tidak pernah menentang imigran, mereka yang paling terperdaya, tapi hal ini berdampak pada kami semua," kata Vazquez.

Gastelum berjanji tidak akan menggunakan dana pemerintah kota untuk menangani situasi ini. Pada Kamis (24/11), pemerintahannya mengatakan akan meminta bantuan dari Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA).

Vazquez yang biasanya menggunakan stadion itu untuk bermain sepakbola mengatakan sekarang pemerintah Meksiko harus segara mengambil tindakan dan memproses visa demi kemanusiaan, sehingga para imigran bisa mulai mencari kerja. Karena Vazquez tidak bisa lagi bermain sepakbola, ia memilih menghabiskan waktunya untuk menjadi sukarelawan dengan mendonasikan pizza dan ayam bakar untuk para imigran.

Para imigran meninggalkan Honduras pada pertengahan Oktober. Mereka kerap kali mendapatkan sambutan yang hangat dari kota-kota yang mereka lalui. Beberapa kota yang memiliki sumber daya terbatas pun menyediakan makanan dan tempat beristirahat untuk mereka.

Di kota-kota tersebut para imigran paling lama singgah dua hari kecuali ketika mereka tiba di Mexico City, Meksiko. Para imigran mencari suaka ke AS untuk menghindari kekerasan dan kemiskinan. Kini mereka menghadapi kemungkinan akan menghabiskan waktu selama berbulan-bulan di kota perbatasan sebelum akhirnya memiliki kesempatan berbicara dengan petugas imigrasi AS.

Pada Jumat (23/11) lalu, Gastelum mengatakan pemerintah Meksiko sempat berkata akan mengirimkan 20 ton sumber daya untuk memperkuat perbatasan. Tapi menurut Gastelum jumlah itu hanya sepertiga dari yang kotanya butuhkan dan dari 20 ton sumber daya itu hanya 5 ton untuk imigran.

Gastelum juga mengkritik pemerintahan Meksiko yang tidak menanggapi dengan serius ancaman Trump. Presiden AS ke-45 itu mengancam akan menutup perbatasan sepenuhnya jika Meksiko gagal mengontrol situasi di Tijuana.

"Ini (masalah) yang serius," kata Gastelum.

Selain dari pemerintah kota Tijuana, imigran-imigran ini juga menerima bantuan dari gereja dan masyarakat setempat. Mereka menyediakan makanan yang dibutuhkan para imigran. Beberapa badan pemerintahan juga memberikan bantuan.

Salah seorang imigran, Adelaida Gonzalez, 37 tahun, yang berasal dari Guetemala baru tiba di Tijuana tiga hari yang lalu dan ia masih kesulitan untuk menyesuaikan diri. Ia kesulitan untuk tidur di atas selimut yang digunakan menutupi tanah kotor di bawahnya.

Gonzalez harus menunggu selama tiga puluh menit untuk bisa menggunakan kamar mandi dan mendapatkan makanan. Ia tidak tahu berapa lama lagi ia bisa bertahan dengan situasi ini. 

"Kami tidak akan datang dengan risiko ini jika kami tahu ini akan menjadi sesulit ini," kata Gonzalez.

Ia meninggalkan Guetemala dengan putranya yang berusia 15 tahun. Gonzalez mempertimbangkan tawaran pemerintah Meksiko untuk tetap bertahan di sana dan bekerja di Chiapas sebagai pengungsi.

Beberapa imigran menggelar sebuah demonstrasi kecil-kecilan di perbatasan kota Chaparral. Beberapa orang menginap di sana. Polisi menjaga jalan-jalan di sekitar persimpangan yang dipenuhi imigran. Tapi sampai Jumat (24/11), lalu lintas di sekitarnya tidak terganggu.

Seorang warga Tijuana, Alicia Ramirez, 65 tahun mengatakan ia khawatir tidak bisa berbelanja di hari Black Friday untuk memenuhi kebutuhan perayaan hari Natal. Tapi ia juga tidak kesulitan menyeberang ke Kalifornia.

Puluhan polisi Meksiko berjaga di perbatasan menggunakan tameng plastik. Meski tidak ada hambatan bagi Ramirez untuk menyeberang ke AS tapi putrinya yang berada di Los Angles masih tidak berani untuk pulang ke Tijuana.

"Putri saya khawatir, jadi mereka memutuskan untuk tidak datang," katanya.

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement