Ahad 25 Nov 2018 13:00 WIB

Perlu atau tidak, Penyandang Disabilitas Mental Ikut Pemilu?

Penyandang disabilitas mental dimasukkan dalam daftar pemilih tetap.

Rep: Fauziah Mursid/Dian Erika Nugraheny/ Red: Muhammad Hafil
Sejumlah pasien penyandang disabilitas mental menjalani perawatan (ilustrasi).
Foto: Antara/Adeng Bustomi
Sejumlah pasien penyandang disabilitas mental menjalani perawatan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) membolehkan penyandang disabilitas mental (PDM) boleh menggunakan hak pilihanya dalam Pemilu 2019. Namun, ada persyaratan yang harus dipenuhi sebelum mereka menggunakan hak pilihnya.

Komisioner KPU, Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan,  PKPU Nomor 11 Tahun 2018 tentang penyusunan Daftar Pemilih sudah mengatur tentang memperbolehkan penyandang disabilitas mental untuk mempergunakan hak pilih. KPU juga sudah menindaklanjuti aturan ini dengan mengirimkan surat edaran (SE) tertanggal 13 November kepada KPU provinsi, kabupaten dan kota. Ditambah lagi, ada rekomendasi dari Bawaslu yang meminta untuk mengakomodasi hak pilih penyandang disabilitas mental.

"Selain itu, ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135 Tahun 2015. Gangguan jiwa atau kehilangan ingatan itu kan tidak permanen. Maka jika tidak didaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), kemudian ketika pemungutan suara sudah sembuh, mereka bisa kehilangan hak pilih," ujar Pramono ketika dikonfirmasi wartawan belum lama ini.

Pramono melanjutkan, putusan MK juga menyatakan penyandang disabilitas mental bisa dimasukkan dalam DPT terlebih dulu. Kemudian, ketika hari H pemungutan suara, dan dinyatakan sehat secara kejiwaan oleh dokter, yang bersangkutan boleh menggunakan hak pilih. Sebaliknya, jika yang bersangkutan tidak mendapatkan rekomendasi atau surat keterangan bahwa sudah sehat dari dokter kejiwaan, dia tetap tidak bisa memilih.

"Jadi tetap dimasukkan ke DPT karena kesehatan mental atau jiwa itu sebetulnya juga gradasinya banyak, tidak semuanya permanen. Jadi hak pilihnya dulu yang dilindungi, sementara soal nanti mencoblosnya, itu harus dibuktikan dengan surat keterangan sehat dari dokter jiwa," tegasnya.

Pramono menambahkan, sampai saat ini sudah ada sebagian penyandang disabilitas mental yang masuk ke DPT Pemilu 2019. Namun, dia mengakui jika belum semua penyandang disabilitas mental masuk ke DPT saat ini.

"Sebagian sudah masuk. Tetapi itu masuk dalam data penyandang disabilitas secara umum yang jumlahnya masih tercatat sebanyak 400 ribu orang," katanya.

Terkait hal itu, komisioner KPU lainnya, Viryan mengatakan,  sosialiasi pemilu akan disampaikan kepada penyandang disabilitas mental dan tenaga kesehatan yang merawat mereka. Tata cara menggunakan hak pilih di TPS akan menjadi fokus sosialisasi tersebut.

Menurut Viryan, tidak ada perlakuan khusus kepada para penytandang disabilitas mental. Mereka diizinkan menggunakan hak pilih dalam pemilu sebagaimana mereka yang bukan penyandang disabilitas.

"Dan terhadap penyandang disabilitas mental pun sudah pernah dilakukan pendataan pada pemilu selanjutnya. Namun, sosialisasi soal pemilu dan cara menggunakan hak pilih akan tetap kami berikan kepada mereka," ujar Viryan kepada wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (23/11).

Dalam sosialisasi nanti, kata Viryan, akan disampaikan sejumlah materi. Salah satunya soal teknis menggunakan hak pilih di TPS oleh penyandang disabilitas mental.

Karena itu, sosialisasi ini tidak hanya menyasar penyandang disabilitas mental saja. "Kami juga akan menyampaikan sosialisasi pemilu kepada pengelola panti sosial, pemgelola rumah sakit jiwa (RSJ), perawat dan tenaga kesehatan lain yang selama ini merawat para penyandang disabilitas mental. Jadi sosialisasinya nanti secara utuh," lanjut dia.

Baca juga: Ustaz Abdul Somad Imbau Umat Abaikan Survei LSI Terhadapnya

Baca juga: Kapolda: Tak Ada Muatan Politis Terkait Pemeriksaan Dahnil

Viryan juga mengungkapkan saat ini data penyandang disabilitas mental yang masuk ke dalam daftar pemilih tetap (DPT) sudah ada. Namun, data itu masih tergabung dengan penyandang disabilitas lain secara umum.

Untuk itu, KPU juga menggandeng Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan untuk keperluan pendataan data penyandang disabilitas mental. "Selama 30 hati waktu perpanjangan untuk perbaikan DPT kami akan maksimalkan juga untuk pendatan ini," tambah Viryan.

Kekhawatiran

Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Yeni Rosa Damayanti yang tergabung dalam Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas mengakui bahwa ada pihak-pihak yang mengkhawatirkan keikutsertaan penyandang disabilitas mental jika ikut pemilu. Terutama, kekhawatiran mereka mudah untuk dipengaruhi.

Namun, Yeni menantang pihak yang beranggapan hak pilih penyandang disabilitas mental tersebut dapat diarahkan ke pasangan calon tertentu. Sebab, hak pilih kepada penyandang disabilitas mental telah diberikan sejak Pemilu 2014 lalu.

"Coba diperiksa tahun 2014 pilihan berbeda-beda, contoh di rumah sakit jiwa Bali itu menang Prabowo- Hatta, RSJ Jogja yang menang Jokowi-JK, di RSJ lombok yang menang Prabowo Hatta saat itu, jadi nggak benar itu," ujar Yeni dalam diskusi di Media Center Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Jakarta, Sabtu (24/11).

Karenanya, ia tidak sependapat jika hak pilih kepada penyandang disabilitas mental dianggap permainan politik ke pasangan calon tertentu. Sebab, hak pilih yang didapat penyandang disabilitas mental adalah buah dari hasil perjuangan pemerhati penyandang disabilitas mental.

"Ini bukan barang baru, tahun 2014 terjadi dimana-dimana dan ini sudah dirayakan penyandang disabilitas. Makanya ini saya prihatin kenapa sekarang ini menjadi masalah," ungkap Yeni.

Lagipula menurutnya, tidak hanya penyandang disabilitas mental, para pemilih bukan penyandang disabilitas mental juga dinilai mudah dipengaruhi pilihan politiknya.  Karenanya, ia mempersoalkan pihak yang mengkritisi hak pilih bagi penyandang disabilitas mental.

"Ada argumentasi bahwa disabilitas mental ini rawan dipengaruhi, itu ucapan diskriminasi karena kita ketahui banyak masyarakat yang rentan dipengaruhi tapi tidak pernah dicabut hak pilihnya. Kemungkinan dipengaruhi itu ada dimana-mana bukan hanya Disabilitas mental," kata dia.

Baca juga: Peringatan Haedar Sebelum Dahnil Jadi Terperiksa di Polda

Baca juga: Dengar Rekaman Pembunuhan Khashoggi, Ini Sikap Kanada

Ia melanjutkan, sesuai dengan Undang undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas juga para penyandang disabilitas mental mendapat jaminan penuh atas hak-haknya dalam Pemilu, termasuk terdaftar sebagai pemilih.

"Harapannya permasalahan ini segera selesai hak-hak dikembalikan dan dijadikan isu permainan politik, serta asal jgn menjadikan penyandang disabilitas objek hinaan," kata dia.

 Ketua Jaringan Rehabilitasi Psikososial Indonesia yang juga seorang dokter psikiater senior, Irmansyah menyebut hak pilih yang diberikan kepada penyandang disabilitas mental sangat bermakna penting. Menurutnya, hak pilih tersebut menjadi bentuk pengakuan terhadap penyandang disabilitas mental sama kedudukan di masyarakat.

Menurut Irmansyah, selama ini penyandang disabilitas mental kerap tersingkirkan hak-haknya dalam kehidupan bermasyarakat.

"Setelah baca berita itu (hak pilih bagi penyandang disabilitas mental), mereka mengatakan terimakasih, bukan hanya mereka tapi keluarganya juga yang selama ini barangkali merasa tersingkirkan. Ini suatu simbol bahwa mereka WNI juga yang memiliki hak yang sama kedudukannya," ujar Irmansyah dalam diskusi di Media Center Bawaslu RI, Jakarta, Sabtu (24/11).

Ia pun mengapresiasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melakukan pendataan kepada pemilih penyandang disabilitas mental untuk Pemilu 2019.

"Pemilu itu bisa dikatakan suatu proses yang bermakna, meskipun dia hanya datang, tapi itu sebetulnya pengakuan bahwa ia diterima di masyarakat. Hak politiknya sama," ujar Irmansyah.

Namun demikian, ia mempertanyakan adanya pihak-pihak yang mengkritisi keikutsertaan para penyandang disabilitas mental dalam meramaikan Pemilu 2019 mendatang. Lantaran, penyandang disabilitas mental dinilai tidak kompeten mengikuti pesta demokrasi

Bahkan, menurut Irmansyah, tidak sedikit kritikan-kritikan tersebut dilakukan melalui meme atau gambar di media sosial dengan nada menghina atau menjelekkan penyandang disabilitas mental.

Padahal, para penyandang disabilitas mental sudah melalui berbagai proses untuk bisa membuat di tengah masyarakat.

"Mereka sudah dobel, sudah menderita, sudah kehilangan sebagian kemampuam kognitif, kemampuan sosial, daya realitasnya juga dan mereka dalam proses yang menuju ke perbaikan ya, proses perbaikan mereka melalui rehabilitasi juga cukup panjang," ujar Irmansyah

Akan tetapi, penyandang disabilitas mental harus menghadapi situasi yang tidak

"Mereka yang proses rehabilitasi itu lalu kembali berhadapan dengan penempatan dan situasi tidak enak itu sesuatu preseden yang luar biasa," ujar Irmansyah.

Ia juga mempertanyakan pandangan sejumlah pihak yang memandang rendah keikutsertaan penyandang disabilitas mental dalam hal kualitas pelaksanaan Pemilu. Menurutnya, sebagian menilai bahwa penyandang disabilitas mental perlu mempertanggungjawabkan pilihannya.

"Ini yang seolah-olah kok mutu penyelengara bisa bertangung jawab dengan menyertakan orang dengan maslaah disabilitas mental ini. apakah semua itu pemilih itu dimintai dipertanggungjawaban kemudian? saya rasa tdk adil, jika disabilitas mental ini takut pemilu jadi salah atau chaos maupun tidak bermutu," ujarnya.

Baca juga: Liverpool dan City Lanjutkan Tren Kemenangan di Liga Inggris

Baca juga: Hasto Sebut Pernyataan 'Pengen Tabok' Jokowi sebagai Teguran

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement