REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dan regulator terus mendorong Pemerintah Daerah (Pemda) menerbitkan obligasi daerah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun mengaku masih melakukan sosialisasi ke beberapa daerah.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, memang masih ada beberapa kendala bagi daerah untuk menerbitkan obligasi tersebut. "Jadi tergantung tata kelola setiap daerah dan kesiapan menggunakan dana obligasi itu," ujarnya kepada Republika, Ahad (25/11).
Beberapa daerah, kata dia, ingin ajukan obligasi berjamin aset atau proyek daerah. Hanya saja tingkat korupsi masih tinggi, kemudian alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang ada sekarang belum tepat sasaran.
"Beberapa daerah habiskan 40 sampai 60 persen APBD untuk belanja rutin seperti belanja pegawai yang cenderung konsumtif. Maka daerah seperti itu belum pas terbitkan obligasi," tegasnya.
Problem lain, tambah Bhima, yakni pendataan aset Pemda sebagai jaminan masih belum optimal. Seharusnya, perencanaan pembangunan infrastruktur disiapkan lebih matang sehingga investor tertarik.
"Tantangan lain saat ini kita memasuki era bunga mahal, di mana bunga obligasi pemerintah tenor 10 tahun dikisaran 8 persen. Maka kemampuan Pemda menyicil juga penting. Jangan sampai gagal bayar utang," ujarnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, pada prinsipnya semua aset bisa dijadikan jaminan dalam penerbitan obligasi. Asalkan nilainya mencukupi sesuai kebutuhan penerbitan obligasi.
"Aset baru pun bisa. Asalkan menghasilkan cash streaming yang bagus untuk bayar cicilan dan bunga bisa," jelas Bhima.
Baru-baru ini, OJK juga mendorong pemerintah daerah di Sumatra Barat untuk bernisiatif menerbitkan obligasi atau surat utang. Penerbitkan obligasi ini, kata OJK, memberi alternatif sumber pembiayaan bagi daerah untuk membangun infrastrukturnya sendiri, tanpa bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari pusat.