REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily meminta kebijakan Kementerian Agama terkait pengadaan kartu nikah dilakukan secara terbuka dan transparan. Hal itu disampaikan Ace menyusul adanya sorotan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pengadaan kartu nikah oleh Kemenag tersebut.
"Asal apa yang dilakukan oleh Kementerian Agama tentu dilakukan secara transparan, terbuka, dan tidak menyalahi aturan yang berlaku," ujar Ace di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/11).
Ace memaklumi kekhawatiran KPK terhadap pengadaan kartu nikah yang berpotensi adanya unsur koruptif jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan. Namun menurutnya, pengadaan kartu nikah tersebut sebelumnya sudah dilakukan pembahasan dengan Komisi VIII DPR sejak tahun 2017.
"Bagi kami, selagi kebijakan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku kenapa tidak. Toh selama ini juga kita tahu ada beberapa kebijakan seperti pembuatan kartu-kartu yang lain yang dilaksanakan oleh swasta itu juga tidak punya masalah," ujar Ace.
Politikus Partai Golkar itu juga sudah mengecek mengenai besaran pengadaan kartu nikah yang nilainya tidak sebesar pengadaan KTP elektronik yang anggaran pernah menjadi bancakan korupsi.
"Jadi sebetulnya tidak sampai bermiliar-miliar, KTP-el yang sekian triliun. Dan saya sudah pastikan ke kementerian agama bahwa kebijakan ini nanti akan dilaksanakan tahun depan tetapi tidak mengambil APBN, tetapi mengambil dana dari PNBP," ujar Ace.
Sebelumnya, Kabiro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah meminta imbauan peninjauan ulang kartu nikah oleh KPK dapat direspon baik oleh Kementrian Agama.
"Jadi saran KPK semestinya kalau ada kebijakan-kebijakan seperti itu sebelumnya perlu dikaji secara matang terlebih dahulu," ujar Febri saat dikonfirmasi, Sabtu (24/11).
Kajian yang dilakukan adalah sejauh mana urgensinya dan sejauh mana memang kartu tersebut nanti bermanfaat. Terlebih, bila menggunakan keuangan negara.
"Dan selain itu KPK juga sudah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam menangani kasus-kasus korupsi di kementrian agama. Meskipun di era-era sebelumnya, tentu kami tidak ingin hal tersebut terjadi lagi di era sekarang," ujar Febri.
Febri mengatakan, harapannya imbauan pencegahan ini tidak perlu disambut atau direspon secara reaktif.
"Karena kami justru berharap jangan sampai kejadian seperti kasus KTP elektronik. Meskipun KTP elektronik itu selembarnya nilainya tidak terlalu mahal tapi ketika dikali dengan jutaan lembar, lalu disana juga ada mark upuntuk KTP elektronik, ya maka tentu nilai kerugian negaranya bisa sangat besar. Jangan sampai hal seperti itu terjadi lagi karena itulah KPK juga menjalankan fungsi pencegahannya," ujar Febri.