REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wahyudi Akmaliyah menilai sentimen politik elektoral bisa berbahaya pada mediatisasi agama yang masif belakangan ini. Mediatisasi agama, yakni penyebaran agama melalui media.
Menurut Wahyudi, di Jakarta, Senin (26/11), keberadaan media baru seperti media sosial diakui atau tidak menciptakan kubu-kubu baru di masyarakat. "Demonstrasi pembubaran organisasi Hizbut Tahrir Indonesia, misalnya, sebetulnya bukanlah isu yang begitu besar. Namun, ketika hal ini dikaitkan dengan politik elektoral, dampaknya akan sangat luas," kata Wahyudi dalam seminar nasional bertajuk "Mediatisasi Agama: Peluang atau Ancaman?" yang diselenggarakan di LIPI.
Menurut dia, untuk membuat viral, politik elektoral menjadi sangat mungkin. Namun, dari politik elektoral ini berbagai kepentingan muncul. "Misalnya, predator politik bisa muncul terus kelompok konservatif yang bisa mendapatkan suara di sana," ucap Wahyudi.
Predator politik yang disebut Wahyudi, yakni mereka yang berani menghalalkan apa saja untuk memenangkan kontestasi politik. Tipe seperti ini tak memikirkan dampak perpecahan yang dibuat oleh cara yang dia ambil.
Mediatisasi agama dilakukan oleh banyak pihak hal itu akan lebih berbahaya lagi jika sampai ke tangan buzzer politik. Kondisi tersebut menciptakan polarisasi di masyarakat.
Algoritma di media sosial membuat seseorang hanya melihat apa yang dia sukai saja. Hal ini semakin membawa kondisi ini lebih jauh menjadi fragmentasi-fragmentasi baru.
"Secara ekonomi algoritma ini menguntungkan untuk membaca pasar. Tapi itu bahaya ketika masuk ke sentimen politik elektoral. Akhirnya algoritma ini sulit dipecah kecuali oleh pembuatnya," ucap dia.
Wahyudi menambahkan, kondisi ini diperburuk dengan budaya literasi yang belum begitu kuat. "Tradisi membaca belum tumbuh, sudah ada era digital. Sementara kita hobi gosip kan. Akhirnya pelacakan informasi enggak pernah dapat, terlalu terfragmentasi kemudian ketika ada hoaks menilai itu sebagai kenyataan," ucap dia.