REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menolak kesimpulan laporan perubahan iklim yang dirilis pemerintahannya sendiri. Laporan tersebut berisi tentang biaya yang harus ditanggung AS dalam menanggulangi bencana alam yang disebabkan perubahan iklim atau pemanasan global.
"Saya tidak percaya, tempat lainnya di bumi juga kotor, ini tidak begitu bagus," kata Trump, Selasa (27/11).
Para ekonom mengatakan laporan Badan Iklim AS itu memperingatkan biaya ratusan miliar dolar AS yang harus dikeluarkan pemerintah untuk bencana alam. Jumlah itu kata para ekonom sangat besar. Mereka mengatakan hal itu dapat terlihat dalam pemulihan pasca-bencana alam Badai Harvey, Maria, dan Irma.
Menurut Badan Oseanografi dan Atmosfir AS karena tiga badai terbesar 2017 itu setidaknya pemerintah AS harus mengeluarkan biaya sebesar 265 miliar dolar AS. Laporan perubahan iklim yang dikeluarkan Badan Iklim AS pada Jumat (23/11) lalu memperingatkan karena perubahan iklim AS akan semakin sering diterpa bencana alam.
"Akan semakin sering, intens, meluas dan dalam waktu yang lama," kata laporan itu.
Laporan tersebut mengatakan sejak 2015 lalu setidaknya pemerintah AS telah mengeluarkan biaya sebesar 400 miliar dolar AS karena bencana alam. Laporan itu juga menyebutkan banyak sektor yang berpotensi kehilangan miliaran dolar AS per tahun karena bencana alam.
Laporan itu menambahkan jika emisi rumah kaca terus berlanjut pada level yang sekarang ini, maka biaya upah kerja di industri ruang terbuka selama gelombang panas pada 2090 bisa mencapai 155 miliar dolar AS per tahun. Trump mengatakan sudah sempat membaca beberapa bagian laporan tersebut.
Pada 2015, hampir setiap negara di dunia sudah berjanji untuk mengurangi atau memperlambat pertumbuhan emisi karbon dioksida, penyebab utama dari gas rumah kaca. "Kita (seluruh dunia) sudah sampai di situ," kata ekonom dari Wesleyan University, Gary Yohe.
Yohe salah satu orang yang memeriksa laporan yang ditulis oleh 13 badan federal AS dan beberapa ilmuwan dari luar pemerintahan. "Dampak perubahan iklim pada ekonomi kami sudah terasa sekarang; Harvey, Florence, Michael, Maria, di lokasi tertentu ini mengerikan, tapi untuk seluruh negeri? Tidak," kata Yohe.
Ekonom Ray Kopp, seorang wakil presiden lembaga think tank, Resource For the Future mengatakan dampak ekonomi dan sains dalam laporan tersebut sangat kredibel. Ia yakin adanya kerugian dalam jumlah yang sangat besar tanpa adanya usaha untuk mencegahnya.
"Ini sesuatu yang ingin Anda hindari," kata Kopp.
Sebelumnya, Gedung Putih mengabaikan laporan tersebut. Juru bicara Gedung Putih, Lindsay Walters sudah mengeluarkan pernyataan tentang laporan tersebut. Menurutnya laporan itu berdasarkan skenario yang paling ekstrem.
"Yang mana kontradiktif dengan tren yang sudah sangat lama, dengan asumsi meski pertumbuhan ekonomi kuat akan meningkatkan emisi gas rumah kaca, di mana akan inovasi dan teknologi terbatas dan pesatnya pertumbuhan populasi," kata Walters.
Dalam laporan 29 bab itu, para ilmuwan menyarankan tiga skenario yang digunakan PBB. Skenario pertama skenario business-as-usual, artinya tidak ada perubahan apapun dan tidak ada langkah yang dilakukan untuk mencari cara menahan perubahan iklim dan pemanasan global. Mereka menyebutnya skenario yang paling buruk.
Skenario kedua adalah mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cara yang tidak agresif. Skenario yang terakhir menurunkan polusi karbon dioksida. Dampak skenario-skenario ini berbeda-beda.
Sebagai contoh, ada biaya tambahan upah kerja 155 miliar dolar AS per tahun pada akhir abad ini jika menggunakan skenario yang pertama. Laporan tersebut mengatakan dengan menurunkan polusi karbondioksida maka akan biaya tambahan itu turun menjadi 75 miliar dolar AS per tahun.
Laporan itu mengatakan kerugian ratusan miliar dolar AS itu berasal dari beberapa titik. Laporan tersebut menunjukan skenario terburuk jika AS tidak mau berbuat sesuatu untuk mencegah agar perubahan iklim tidak semakin memburuk.
Kerugiannya akan mencapai 10 persen dari Produk Domestik Bruto (GDP) AS jika bumi lebih panas puluhan derajat celcius daripada saat ini. Tapi laporan ini tidak menunjukkan waktu spesifik kapan hal itu terjadi. Yohe mengatakan sayangnya beberapa media lompat ke skenario 10 persen.
"10 persen tidak masuk akal sebagai kemungkinan di masa depan 2100, ini tidak terlalu mungkin," kata Yohe.