Selasa 27 Nov 2018 16:56 WIB

Mengembalikan Kejayaan Pala dari Kepulauan Banda

Petani diminta melanjutkan cara pengelolaan kebun pala yang diwariskan leluhur.

Buah pala di perkebunan Pala Dusun Mangku Bato, Desa Rajawali, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah.
Foto: Muhammad Hafil/Republika.co.id
Buah pala di perkebunan Pala Dusun Mangku Bato, Desa Rajawali, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDA NEIRA – Ratusan tahun lalu atau tepatnya pada abad ke-16, bangsa Eropa memperebutkan kepulauan Banda di Maluku Tengah. Mereka saling memerangi penduduk asli Kepulauan Banda dan sesama bangsa Eropa lainnya.

Mengapa mereka memperebutkan Kepulaan Banda? Karena di sini terdapat sejumlah rempah-rempah asli  daerah ini yang sangat diminati oleh bangsa Eropa. Yaitu, buah pala. Seluruh buah ini bisa dimanfaatkan. Mulai dari bumbu-bumbuan, pengobatan, hingga bahan-bahan kosmetik.

Karena perebutan buah pala di Kepulauan Banda inilah bangsa-bangsa Eropa memulai penjajahannya di Indonesia. Dan, Banda Neira, salah satu pulau di Kepulauan Banda, menjadi kota pertama yang dibangun oleh bangsa Eropa di bumi Nusantara.

Tujuan pembangunan  kota adalah untuk kepentingan perdagangan pala yang dilakukan oleh bangsa Eropa. Di sini di bangun gedung-gedung perkantoran kolonial dan belasan benteng pertahanan.

Selama beberapa ratus tahun kemudian, pala asal Banda ini menjadi primadona. Namun, perlahan-lahan, pala asal Kepulauan Banda ini sekarang mulai terlupakan dan tak lagi menjadi komoditas perkebunan primadona. Ada beberapa alasan yang menyebabkan hal tersebut.

Sahirun Ishak, ketua Kelompok Tani Mekar Indah, Dusun Mangko Batu, Desa Rajawali, Kecamatan Banda, mengatakan, faktor pertama adalah karena perkebunan pala sekarang sudah banyak menyebar di sejumlah daerah. Di antaranya adalah di Ternate (Maluku) dan Sulawesi Utara. Bahkan, sejumlah negara di Eropa juga dikabarkan menjadi penghasil pala.

Kedua, pala asal Kepulauan Banda beberapa waktu lalu pernah terkena sejumlah penyakit seperti jamur. Ini diakibatkan salah satunya oleh penggunaan bahan-bahan pupuk kimia (nonorganic). Hal tersebut  membuat tingkat keminatan konsumen dan pedagang terhadap pala Kepulauan Banda berkurang. Ketiga, masalah kualitas. Pada zaman Belanda dulu, semua pala asal Banda setelah dipanen dijemur dengan teknik pengasapan. 

Namun, sejak beberapa dasawarsa terakhir, banyak petani di Kepulauan Banda yang enggan menjemur pala dengan teknik pengasapan menggunakan kayu bakar melainkan hanya mengandalkan sinar matahari. “Hasil kualitasnya jauh lebih baik dengan yang menggunakan cara pengasapan,” kata Sahirun, Selasa (27/11).

Menurut Sahirun, teknik pengasapan ini memang lebih kompleks diterapkan dibanding mengeringkan dengan sinar matahari. Karena, teknik pengasapan harus mencari dan membeli kayu bakar dulu. Dengan menjemur dengan sinar matahari, petani tak perlu repot-repot mencari kayu bakar. “Tapi hasilnya yang dijemur dengan sinar matahari jauh lebih rendah kualitasnya,” kata Sahirun.

Keempat, masih banyak petani perkebunan pala yang menjual pala yang masih muda. Padahal, kualitas pala yang masih muda itu jauh lebih rendah dibandingkan pala yang sudah tua. “Ya, ini karena kebutuhan petani yang ingin segera dapat uang, tapi tak mengutamakan kualitas pala,” kata Sahirun.

Karena itulah, lanjut Sahirun, petani perkebunan pala di Banda ingin kembali membangkitkan kejayaan pala asal Kepulauan Banda. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan sistem perkebunan organik yang dicanangkan oleh pemerintah pusat sejak empat tahun terakhir.

Menurut Sahirun, penggunaan pupuk organik yang berasal dari alam dan kotoran hewan membuat hasil pala menjadi lebih baik kualitasnya. Karena, sudah tidak ada lagi penyakit yang ditemukan.

Selain itu, dalam prosesnya,  kelompok tani selalu didampingi oleh pihak penyuluh dari pemerintah agar selalu menggunakan pupuk organik. Sehingga, kualitas pala yang dihasilkan betul-betul terjaga.

Meski upaya perbaikan terus dilakukan, termasuk dengan sistem perkebunan organik, harga pala menurut Sahirun masih menjadi masalah. Karena, saat ini, harga satu kilogram pala seharga Rp 75 ribu. Ini jauh berbeda pada saat 18-19 tahun lalu di mana harga pala per satu kilogramnya bisa mencapai Rp 150 ribu.

“Ini yang menjadi hambatan. Karena itulah, saya berharap agar dengan penggunaan sistem perkebunan organik ini yang membuahkan hasil dengan kualitas baik, harga pala seharusnya bisa naik,” kata Sahirun.

Meski demikian, Sahirun berpendapat bahwa di tengah rendahnya harga pala tersebut, masih bisa mensejahterakan petani. Di Pulau Banda Neira saja, ada dua kelompok petani pala yang masing-masing kelompok terdiri dari 25 orang. Masing-masing orang tersebut memiliki satu hektare. Selama setahun, mereka bisa panen dua kali yang setiap pohonnya bisa menghasilkan 250 kilogram untuk panen kecil dan 400 kilogram untuk panen besar.

photo
Sekretaris Ditjen Perkebunan Sigit Wahyudi (kiri)dan Direktur Perlindungan Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan Dudi Gunadi(tengah) sedang berdialog dengan Sahirun Ishak, Ketua Kelompok Tani Mekar Indah di Dusun Mangko Batu, Desa Rajawali, Kecamatan Banda, Selasa (27/11).

Warisan leluhur

Direktur Perlindungan Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan, Dudi Gunadi mengatakan, untuk mengambalikan kejayaan pala asal Kepulauan Banda ini, maka ajaran leluhur orang Banda dalam berkebun pala harus dilestarikan dan dipraktikkan. Di mana, para leluhur petani perkebunan asal Banda telah berjasa membuat pala menjadi terkenal di seluruh dunia.

“Saya ingin bapak-bapak di Banda, mempelajari warisan budaya ini. Apa yang membuat mereka jauh lebih hebat dibanding kita saat ini tolong dipelajari. Dan, warisan mereka harus dipadukan dengan perkembangan yang ada saat ini,” kata Dudi kepada para petani perkebunan lada.

Dudi mengingatkan, hal tersebut harus dilakukan agar kejayaan pala asal Banda tidak hanya menjadi sebuah cerita masa lalu. “Kuncinya ada di bapak-bapak petani semua agar bisa mengembalikan kejayaan pala Banda,” kata Dudi.

Dudi menyinggung soal teknik pengasapan pala yang sempat ditinggalkan oleh petani. Salah satunya, ada satu rumah pengasapan yang dibangun sejak zaman kolonial Belanda dulu, tetapi tidak lagi digunakan oleh para petani pala. “Harusnya rumah pengasapan ini harus digunakan bersama-sama oleh para petani untuk mengeringkan pala,” kata Dudi.

Menurut Dudi, dengan pengasapan bersama-sama ini, maka kualitas pala yang dihasilkan semuanya menjadi lebih baik. “Saya kira dengan gotong royong ini, bukan tidak mungkin kejayaan pala asal Banda ini bisa kita bangkitkan lagi,” kata Dudi.

Selain itu, Dudi juga menyinggung soal sertifikasi organik terhadap produk pala yang dihasilkan dari Kepulauan Banda ini. Menurut Dudi, sertifikasi ini untuk membuat standardisasi terhadap sebuah produk yang dihasilkan oleh petani.

“Sertifikasi ini adalah sebuah label bahwa produk yang dihasilkan memiliki persyartaan yang dihasilkan dengan standar tertentu. Karena, komoditas perkebunan adalah yang paling banyak dijual ke luar negeri,” kata Dudi.

Apalagi, para konsumen dari sejumlah negara seperti Eropa, Amerika, Kanada, Asia Timur, dan Arab Saudi, sangat aktif menentukan persyaratan organiknya.  “Maka, mulai dari Banda ini hasil produk palanya diberikan sertifikasi Standar Nasional Indonesia dengan label organik yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi yang memiliki otoritas,” kata Dudi.

Sertifikasi organik standard Indonesia diperlukan untuk penjualan di dalam negeri. Sedangkan sertifikasi organik standard Eropa juga diberikan untuk penjualan ke negara-negara Eropa.

Untuk sertifikasi organik ini, menurut Dudi, sementara ini semua biayanya dibantu oleh pemerintah. Namun, untuk ke ke depannya, setelah memenuhi  persyaratan dan produknya banyak, maka pemberi dan petani bisa memperpanjang sertifikasi organik ini.

photo
Rumah pengasapan pala yang dibangun sejak zaman kolonial Belanda di Banda Neira yang sudah jarang digunakan lagi oleh petani perkebunan pala.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement