REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada ungkapan yang mengatakan, “Belajar di waktu muda bagai mengukir di atas batu. Belajar di waktu tua bagai melukis di atas air.” Itulah petikan lagu yang tren pada tahun 80-an yang dipopulerkan salah satu orkes Melayu, El Suraya, pimpinan Ahmad Baki. Sebenarnya, ungkapan ini untuk memotivasi anak muda agar giat belajar dan menuntut ilmu. Masa muda hendaklah dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk membekali diri dengan ilmu pengetahuan.
Namun, bukan berarti orang yang sudah memasuki usia senja sudah terlepas tanggung jawabnya untuk menuntut ilmu. Banyak orang yang sudah berusia, berlindung dari kewajiban belajar dengan ungkapan ini. Menurut mereka, masa tua sudah dibebaskan dari kewajiban menuntut ilmu. Karena daya ingatnya sudah tak mampu lagi merekam pelajaran.
Imam Hasan al-Bashri pernah ditanya seseorang yang usianya sudah 80 tahun. Apakah orang tua itu masih pantas untuk menuntut ilmu? Imam Hasan menjawab, “Jika ia masih pantas hidup.”
Demikianlah hakikat dari menuntut ilmu, ia menjadi ruh bagi kehidupan. Siapa yang menganggap dirinya masih pantas untuk hidup, maka dia mesti belajar dan menambah pengetahuannya. Imam al-Hasan menegaskan, tak ada batasan usia bagi orang yang mau menuntut ilmu.
Ada banyak kisah yang berhasil diungkap media. Di antaranya, nenek Shalih yang hafal Alquran di usia 82 tahun. Ada pula kisah Dra Djauharah Bawazir SPsi MPd yang hafal Alquran di usia 70 tahun. Uniknya, nenek Djauharah berhasil menghafal Alquran dalam waktu yang sangat singkat, yaitu 39 hari.
Prestasi nenek Djauharah tentu telah mencibir anak muda yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menghafal Alquran. Ia membuktikan, Alquran telah dijamin kemudahannya oleh Allah SWT dan diulang-ulang beberapa kali dalam ayat-Nya. Lalu, masihkah orang yang sudah berusia menolak untuk belajar atau menghafal Alquran?
Tak ada alasan untuk tidak belajar di usia senja. Tidak ada kata terlambat untuk kembali mengkaji ilmu-ilmu Islam. Tak perlu pula merasa malu atau minder karena dianggap terlambat memulai mengkaji Islam. Banyak sekali dalam sejarah Islam dikisahkan, betapa banyak orang-orang yang lanjut usia, tetapi tidak sungkan untuk belajar ilmu agama.
Ibnu Mandah berangkat menuntut ilmu di usia 20 tahun dan menghabiskan usianya selama 45 tahun untuk menuntut ilmu di perantauan. Di usia yang sudah senja, 65 tahun, ia baru pulang dan menjadi ulama besar di kampung halamannya.
Ja'far bin Durustuwaih pernah mengisahkan, suatu kali ia berada dalam majelis ilmu Ali bin Al-Madini. Ketika waktu Ashar tiba, majelis itu telah penuh sesak oleh para penuntut ilmu yang akan dimulai esok harinya. Setiap pelajar tidak mau meninggalkan tempat duduknya, takut akan terisi oleh orang lain. Mereka menungguinya sepanjang malam agar mendapatkan posisi yang di depan.
Bahkan seorang bapak tua, kisah Ja'far, terpaksa buang air kecil di jubahnya, karena ia takut pergi ke kamar mandi dan meninggalkan tempat duduknya. “Saya melihat seorang yang sudah tua di majelis tersebut buang air kecil di jubahnya. Karena ia khawatir tempat duduknya diambil, apabila ia berdiri untuk buang air kecil ke kamar mandi,” kata Ja'far mengisahkan.
Betapa antusiasnya orang-orang terdahulu mencari ilmu agama. Bahkan, dalam kisah Ja'far, orang yang sudah tua sekalipun tak kalah bersemangatnya dari anak muda. Semangat inilah yang sudah pudar pada umat Islam saat ini. Semangat menuntut ilmu semakin pudar, seiring bertambahnya usia. Padahal, kewajiban menuntut ilmu tak pernah berkurang dengan bertambahnya usia.
Dunia pendidikan sudah lama mendengungkan istilah long life education (pendidikan seumur hidup). Demikian juga pengakuan negara seperti tertuang dalam UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang penegasan pendidikan seumur hidup yang dikemukakan dalam pasal 10 ayat 1. Padahal, sebenarnya Islam sendiri telah terlebih dahulu mengemukakan istilah ini. Betapa banyak kisah-kisah yang memberi teladan bahwa menuntut ilmu tak kenal batas usia.
Dunia sains abad modern sudah membuktikan, otak manusia masih bisa dipakai dalam waktu ratusan bahkan ribuan tahun. Manusia hanya memakai 10 persen dari otaknya. Ini membuktikan, kapasitas dan daya tampung otak manusia tak pernah penuh. Ia akan bisa dipakai untuk belajar oleh orang yang sudah tua renta berusia ratusan tahun.