REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perum Bulog menyatakan tidak mau berpolemik soal ada atau tidaknya data penyerapan panen jagung petani yang surplus maupun kurang. Permintaan impor jagung muncul melalui Rapat Kordinasi Terbatas (Rakortas) menunjukkan bahwa stok jagung memang tidak ada.
Hal itu diungkapkan oleh Sekretaris Perum Bulog, Siti Kuwati dalam keterangan tertulis yang diterima pada Selasa (27/11) menanggapi pernyataan Menteri Pertanian, Amran Sulaiman bahwa impor jagung ditujukan untuk cadangan stok di Bulog. Menurutnya, jika memang surplus jagung ada di tanah air, dan harganya sesuai dengan harga pembelian pemerintah (HPP), maka sudah pasti jagung yang ada dapat diserap oleh Bulog.
"Mentan mau bilang apa saja, bukan kewenangan kami atau saya untuk menilai apakah Mentan benar atau tidak, ngomong soal surplus. Lebih baik dikonfrontasi dengan data BPS," ucap Siti Kuwati.
Faktanya, kata dia, Rakortas justru meminta agar Bulog impor jagung. Selain itu menurutnya Bulog memiliki kriteria HPP yang disesuaikan dengan kualitas yang diperlukan, tidak asal serap.
"Kalau itu dianggap penilaiannya, atau dinilai penyerapannya lemah, ya monggo saja, nggak bisa dikonfrontasi dengan kita. Intinya adalah kami operator diminta untuk impor oleh regulator ya itu Rakortas yang seizin dari Kementerian BUMN sebagai atasan dari Bulog," kata sosok yang akrab disapa Wati ini.
Sementara itu, Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) mengatakan, langkah pemerintah meminjam jagung ke Japfa dan Charoen merupakan hal yang baik. Menurutnya, impor jagung 100 ribu ton juga diperkirakan tidak akan menyelesaikan masalah tingginya harga jagung. Pasalnya, kebutuhan jagung dalam negeri untuk pakan ternak, sekitar 800 ribu ton per bulan.
Di sisi lain, pinjaman jagung itu diharapkan tidak merugikan perusahaan swasta, dalam hal ini Charoen dan Japfa yang masing-masing meminjamkan 5.000 ton.
"Karena itu kan aset mereka, kalau harga sekarang Rp 6.000 per kilogram, lalu jagung dihargai Rp 4.000 per kilogram; berarti ada real lost Rp 2.000 per kilogram. Kemudian di kali pinjaman itu, misalnya benar 5.000 ton, berarti totalnya Rp 10 miliar. Itu bisa buat beli innova 30 biji," kata Sudirman, di kesempatan berbeda.
Akibat minimnya jagung, dan tingginya harga pakan ternak, saat ini peternak ayam petelur dan pedaging lebih banyak menggunakan gandum daripada jagung untuk bahan baku produksi. Padahal, dengan memakai jagung, pakan ternak tidak perlu ditambahkan zat adittif untuk bisa membuat kaki ayam terlihat kuning.
"Masyarakat kita kan kalau milih daging ayam ingin yang kakinya kuning. Lalu kalau telur juga maunya kuningnya lebih terang. Nah itu kalau pakai jagung sudah pasti kuning. Kalau pakai gandum, ayam kakinya putih, kita harus tambah zat aditif," tuturnya.