Kamis 29 Nov 2018 15:13 WIB

Eni Didakwa Terima Suap-Gratifikasi dari Pengusaha Tambang

Tujuan pemberian uang agar Eni membantu Kotjo mendapatkan proyek.

Mantan anggota DPR RI wakil ketua Komisi VII, Eni Maulani Saragih menjalani sidang  perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (29/11).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Mantan anggota DPR RI wakil ketua Komisi VII, Eni Maulani Saragih menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (29/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VII DPR dari fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih didakwa menerima suap senilai Rp 4,75 miliar serta gratifikasi sejumlah Rp5,6 miliar dan 40 ribu dolar Singapura (sekitar Rp 410 juta). Uang itu berasal dari pengusaha yang bergerak di bidang energi dan tambang.

Dalam dakwaan pertama, Eni didakwa menerima suap Pemegang saham Blakgold Natural Resources Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo sejumlah Rp 4,75 miliar. Dalam dakwaan kedua, Eni didakwa menerima gratifikasi yang seluruhnya sejumlah Rp 5,6 miliar dan 40 ribu dolar Singapura dari empat pengusaha tambang dan energi.

"Terdakwa Eni Maulani Saragih menerima hadiah berupa uang secara bertahap yang seluruhnya berjumlah Rp4,75 miliar dari Johanes Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blakgold Natural Resources (BNR)," kata jaksa penuntut umum KPK Ronald Worotikan di pegandilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (29/11).

Tujuan pemberian uang itu adalah agar Eni membantu Johanes Budisutrisno Kotjo mendapatkan proye "Independent Power Producer" (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd dan China Huadian Engineering Company (CHEC), Ltd.

Kotjo pada sekitar 2015 mengetahui rencana pembangunan PLTU Mulut Tambang Riau 1 sehingga ia mencari investor dan didapatlah perusahaan CHina Yakni CHEC Ltd dengan kesepakatan bila proyek berjalan maka Kotjo akan mendapat fee sebesar 2,5 persen atau sekitar 25 juta dolar AS dari perkiraan nilai proyek 900 juta dolar AS.

Fee itu akan dibagikan kepada: 

  1. Kotjo sendiri sebesar 24 persen atau sekitar 6 juta dolar AS
  2. Setya Novanto sebesar 24 persen atau sekitar 6 juta dolar AS
  3. Andreas Rinaldi sebesar 24 persen atau sekitar 6 juta dolar AS
  4. CEO PT BNR Ltd Rickard Philip Cecile sebear 12 persen atau sekitar 3,125 juta dolar AS
  5. Direktur Utama PT Samantaka Batubara Rudy Herlambang sebesar 4 persen atau sekitar 1 juta dolar AS
  6. Chairman BNR Ltd Intekhab Khan sebsar 4 persen atau sekitara 1 juta dolar AS
  7. Direktur PT Samantaka Batubara James Rijanto sebesar 4 persen atau sekitar 1 juta dolar AS
  8. Pihak-pihak lain yang membantu sebesar 3,5 juta dolar AS atau sekitar 875 ribu dolar AS.

Direktur PT Samantaka Batubara Rudy Herlambang pun mengajukan permohonan proyek itu kepada PLN. Namun, karena setelah beberapa bulan tidak ada tanggapan maka Kotjo menemui Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR saat itu Setya Novanto untuk meminta bantuan agar dipertemukan dengan PT PLN.

Setya Novanto lalu memperkenalkan Kotjo dengan Eni Maulani Saragih. Pada kesempatan itu, Setnov menyampaikan kepada Eni agar membantu Kotjo dalam proyek PLTU dan Kotjo akan memberikan fee yang kemudian disanggupi oleh Eni Maulani.

Pada 2016, Eni lalu mengajak Dirut PT PLT Sofyan Basir didampingi Direktur Pengadan Strategis 2 PT PLN Supangkat Iwan Santoso menemui Setnov di rumahnya. Eni lalu memperkenalkan Kotjo sebagai pengusaha yang tertarik menjadi investor PLTU MT RIAU-1 dengan Sofyan Basir pada awal 2017 di kantor PLN. Sofyan lalu minta agar penawaran dikoordinasikan dengan Supangkat Iwan Santoso.

Pada 29 Maret 2017, IPP PLTU Paranap pun masuk ke dalam RUPTL PT PLN 2017-2026 dan disetujui masuk dalam rencana kerja dan anggaran (RKAP) PT Pembangkit Jawa Bali (PJB). PT PJB sesuai Perpres No. 4 tahun 2016 ditunjuk melaksanakan 9 proyek IPP dengan wajib memilik 51 persen saham.

Sepanjang 2017 terjadi beberapa pertemuan antara Kotjo, Eni Maulani dan Sofyan Basir untuk mendapat proyek PLTU MT RIAU-1 dengan dengan cara penunjukkan langsung tapi PT PJB harus memiliki saham perusahaan konsorsium minimal 51 persen.

Komposisi saham konsorsium adalah PT PJBI 51 persen, CHEC Ltd 37 persen dan BNR Ltd 12 persen dan pihak penyedia batu bara adalah PT Samantaka Batubara.

Setelah Setya Novanto ditahan KPK dalam kasus KTP-El, Eni Maulani selanjutnya melaporkan perkembangan proyek PLTU MT RIAU-1 kepada Idrus Marham agar Eni tetap diperhatikan Kotjo karena Idrus merupakan Plt Ketua Umum Golkar saat itu.

Eni lalu menyampaikan kepada Idrus akan mendapat "fee" untuk mengawal proyek PLTU MT RIAU-1. Pada 25 September 2017, Eni dengan sepengetahuan Idrus pun mengirim whatsapp (WA) yang meminta uang sejumlah 400 ribu dolar Singapura dari Kotjo.

Pada 15 Desember 2017, Eni pun mengajak Idrus menemui Kotjo. Dalam pertemuan itu Kotjo menyampaikan fee akan diberikan ke Eni jika proyek PLTU RIAU 1 berhasil terlaksana.

Eni Maulani Saragih selaku bendahra munaslub Golkar lalu meminta sejumlah uang kepada Kotjo dengan alasan untuk digunakan dalam Munaslub Golkar selanjutnya permintaan Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham itu disanggupi Kotjo.

Uang sebesar Rp4 miliar lalu diberikan kepada Eni Maulani secara bertahap melalui Tahta Maharaya di kantor Kotjo yaitu pada 18 Desember 2017 sejumlah Rp2 miliar dan pada 14 Maret 2018 sejumlah Rp2 miliar.

Pada 27 Mei 2018, Eni mengirimkan WA lagi untuk meminta sejumlah Rp10 miliar guna keperluan pilkada suami Eni Maulani yang mencalonkan diri menjadi Bupati Temanggung yaitu Muhammad Al Khadziq yang akhirnya terpilih sebagai Bupati Temanggung 2018-2023.

Namun, Kotjo menolak dengan mengatakan 'saat ini cashflow lg seret". Pada 5 Juni 2018 Eni lalu mengajak Idrus menemui Kotjo di kantornya, di mana Idrus meminta Kotjo memenuhi permintaan Eni dengan mengatakan "tolong adik saya ini dibantu...buat pilkada".

Sofyan Basir pada 6 Juni 2018 akhirnya sepakat akan mendorong agar PT PLN (Persero) dan PT PJBI menadantangani amandemen perjanjian konsorsium sehingga pada 7 Juni 2018 di kantor PLN ditandatangani amandemen perjanjian konsorsium antara PT PJBI, CHEC Ltd dan BNR Ltd.

Pada 8 Juni 2018, Eni kembali meminta Idrus menghubungi Kotjo. Idrus pun menghubungi Ktojo melalui WA dengan kalkmat "Maaf bang, dinda butuh bantuan untuk kemenangan Bang, sangat berharga bantuan Bang Koco..Tks"

Setelah mendapat pesan WA tersebut, Kotjo lalu memberikan uang sejumlah Rp250 juta kepada Eni malalui Tahta Maharaya di kantor Kotjo.

Pada 3 Juli 2018, Eni melaporkan ke Sofyan bahwa Kojto berhasil berkoordinasi dengan CHEC sehingga bersedia memenuhi persyaratan PPA. Eni juga melaporkan ke Idrus dan pembagian "fee" pun setelah proses kesepaktan proyek PLTU MT RIAU-1 selesai.

Pemberian uang ke Eni baru diberikan pada 13 Juli 2018 sejumlah Rp500 juta melalui Audrey Ratna Justianty. Sesaat setelah Audrey menyerahkan uang itu kepada Tahta, petugas KPK mengamankan Kotjo, Eni Maulani, Tahta dan Audrey.

Atas perbuatannya, Eni didakwa berdasarkan pasal 12 huruf a atau pasal 11 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp200 juta maksimal Rp1 miliar.

Dalam dakwaan kedua, Eni didakwa menerima gratifikasi dengai nilai Rp5,6 miliar dan 40 ribu dolar Singapura. "Terdakwa Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR 2014-2019 telah menerima uang sejumlah Rp5,6 miliar dan 40 ribu dolar Singapura yang berasal dari pemberian eberapa direktur dan pemilik perusahaan di bidang minyak dan gas yaitu dari Prihadi Santoso selaku Direktur Smelting sejumlah Rp250 juta, Herwin Tanuwidjaja selaku Direktur PT One Connect Indonesia (OCI) sejumlah Rp100 juta, Samin TAN selaku pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal sejumlah Rp5 miliar dan Iswan Irbahim selaku Presiden Direktur PT ISARGAS sejumlah Rp250 juta," papar jaksa Ronald.

Terhadap perbuatannya, Eni didakwa pasal pasal 12 B UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Atas dakwaan tersebut, Eni tidak mengajukan nota keberatan (eksepsi). "Atas kesepakatan terdakwa dan penasihat hukum kami tidak mengajukan eksepsi seluruhnya akan kami sampaikan pada nota pembelaan tahap akhir," kata penasihat hukum Eni, Rudy Alfonso.

Sidang dilanjutkan pada 4 Desember 2018.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement