REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Di tengah-tengah kesibukan mengurus negara, kegundahan dan kekosongan luar biasa dari dalam diri Khalifah Harun ar-Rasyid. Penguasa Dinasti Abbasiyah itu berada dalam titik nadir spiritualitas. Hatinya gersang. Ia pun memutuskan mendatangi sejumlah ulama untuk meminta petuah dan nasihat. Apa gerangan yang merundung jiwanya?
Ditemani sejumlah ajudannya, pria kelahiran Tus, Iran, 17 Maret 763 M, itu mendatangi beberapa ulama secara diam-diam. Al-Fhadhil bin ar-Rabi' adalah tokoh yang pertama mendapat kehormatan mengantar sang Khalifah.
Al-Fadhil tak menyangka orang yang mengetuk pintu rumahnya saat ia tertidur lelap itu adalah orang nomor wahid di Baghdad. “Wahai, pemimpin umat, tak semestinya Anda datang kemari, jika Anda memanggilku hadir di istana, akan kupenuhi panggilan itu,” kata al-Fadhil.
“Celaka, ada persoalan yang mengganjal dalam diriku, bantu aku mencari ulama untuk berkonsultasi,” jawab Harun ar-Rasyid. Al-Fadhil akhirnya mengiyakan permintaan tersebut dan segera mendatangi beberapa nama ulama terkemuka.
Tujuan yang pertama, al-Fahdil mengajak menghadap ke Sufyan bin 'Uyainah, salah satu pakar fikih tersohor pada masa itu. Harun menghadap tanpa pemberitahuan sebelumnya. Hal ini membuat Sufyan kaget bukan kepalang.
Dalam diskusi yang berlangsung selama sekira satu jam itu, Sufyan menanyakan apakah Pemimpin Abbasiyah yang berkuasa pada 786-809 M itu memiliki utang atau tanggungan yang belum terpenuhi. Sang Khalifah menjawab bahwa ia memang berutang. “Penuhi utangmu itu,” saran Sufyan kepada Harun.
Usai berdiskusi, khalifah yang mendirikan Bayt al-Hikma (House of Wisdom) itu beranjak pergi dan menyatakan ketidakpuasannya kepada al-Fadhil. Kegelisahannya belum terobati. Ia meminta diantarkan ke ulama yang lain. Giliran Abd ar-Razaq al-Hamam yang mendapat kehormatan berikutnya.