REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menerapkan kebijakan pengenaan cukai terhadap plastik tak ramah lingkungan pada tahun depan. Kendati begitu, menurut Pengamat Lingkungan dari Universitas Diponegoro, Prof Sudharto Hadi, penerapan cukai dinilai tidak cukup untuk mengurangi limbah plastik.
Pemerintah harus dapat mendorong kesadaran masyarakat agar lebih sadar terhadap lingkungan. "(Cukai plastik) kemungkinan bisa mengurangi sampah plastik, tapi kecil. Yang harus diubah kebiasaan orang Indonesia. Kita mesti malu karena kita sampah plastik terbesar setelah Cina, sampah per kapita kita lebih tinggi karena penduduk kita jauh lebih kecil dari Cina," ujar Prof Sudharto Hadi kepada Republika.co.id, Jumat (30/11).
Menurut Sudharto, cukai merupakan bentuk disinsentif kepada produsen yang nantinya akan dibebankan ke konsumen. Dia meyakini dengan mahalnya kantong plastik akan membuat masyarakat mengurangi penggunaannya. Namun, pemerintah harus terus mendorong kesadaran masyarakat Indonesia agar peduli lingkungan.
Kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) beberapa waktu lalu yang menerapkan kantong plastik berbayar di ritel, menurut Sudharto merupakan salah satu cara yang tepat. Kendati begitu, nilai Rp 200 masih terlalu kecil dan tidak membuat orang merasa terhukum karena tidak membawa kantong sendiri.
Mengambil contoh Kanada, negara tersebut sejak sekitar tahun 1980 sudah menerapkan kantong berbayar. "Kalau waktu saya sekolah di Kanada tahun 1980-an harus bayar 1 dolar Kanada, cukup buat naik bus, jadi merasa rugi. Kantong berbayar Rp 200 jadi disinsentif yang tidak menghukum orang," katanya.
Menurutnya, negara maju lainnya memiliki lingkungan yang baik lebih karena kesadaran masyarakat yang saling menegur apabila menemukan orang lain berlaku tidak baik. Setiap orang jadi polisi bagi setiap orang yang lain, dan menegur manakala melihat orang lain membawa kantong plastik, bukannya kantong kain.
Di Singapura, yang mengkonsumsi banyak plastik, dapat menjaga lingkungannya karena adanya hukuman bagi masyarakat yang tidak menjaga lingkungan. Adanya sanksi membuat masyarakat di sana terbiasa menjaga lingkungannya.
Sementara itu dari segi produsen, pemerintah harus dapat menyiapkan teknologi yang dapat memproduksi degradable plastik. Selain itu, pemerintah harus menguji semua produsen plastik yang memiliki label degradable di produk mereka.
"Mahal memang bisa mengarahkan konsumen untuk tidak menggunakan plastik. Kampanye lingkungan harus terus dilakukan. Dan harus ada jalan keluar untuk produsen," kata Sudharto.
Pencemaran lingkungan di laut
Isu pencemaran lingkungan oleh limbah plastik ini kembali mencuat saat sebanyak 5,9 kilogram sampah plastik ditemukan di dalam perut paus sperma yang ditemukan mati di perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara, lebih dari sepekan lalu. Ditemukannya bangkai paus ini membuat runner up Putri Indonesia 2004 Nadia Mulya semakin gencar mendorong petisi cukai plastik di www.change.org/cukaiplastik.
Menurut data dari earthday.org, penerapan cukai plastik sebelumnya pernah diberlakukan di beberapa negara dan terbukti menurunkan angka penggunaan plastik. Di Washington DC, penggunaan plastik telah berkurang hingga 85 persen setelah diterapkan cukai plastik sebesar 0.05 dolar AS sejak 2009. Penggunaan plastik menurun 22,5 juta per bulan menjadi 3,3 juta per bulan.
Inggris pun demikian. Setelah menerapkan cukai plastik sebesar 5 penny sejak 2015, penggunaan plastik telah berkurang hingga 80 persen.
Industri menjerit
Rencana pemerintah untuk mengurangi sampah plastik ini membuat industri yang mengenakan plastik menjerit. Upaya ini menurut industri tidak tepat untuk mengatasi permasalahan limbah plastik. "Ini kan masalah setelah dipakainya (hilir). Berarti kalau dengan cukai plastik itu untuk mengatasi dari hulunya, bukan hilir," kata Ketua Umum Federasi Kemasan Indonesia, Henky Wibowo.
Padahal sudah terdapat peraturan untuk mengatasi limbah yaknu melalui undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Namun melihat kondisi pencemaran lingkungan saat ini, ia menilai penanganan sampah masih belum tidak berjalan dengan baik.
Upaya pemerintah untuk mendorong masyarakat mengurangi penggunaan plastik juga dinilai tidak optimal. Salah satu contohnya, saat pemerintah berusaha menerapkan plastik berbayar di pasar modern. Padahal menurutnya, 75 persen penggunaan kantong plastik justru berada di pasar tradisional.
"Cukai itu tidak akan mengurangi, tapi sampahnya yang harus dibenahi," katanya.
Sependapat, Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Rachmat Hidayat menjelaskan, Indonesia harus mengikuti negara tetangga untuk mengatasi limbah plastik. Singapura yang konsumsi plastik mencapai 100 kg per kapita per tahun, dapat mengatasi pengelolaan sampah karena menerapkan denda bagi yang membuang sampah. Sementara Malaysia dan Thailand, yang konsumsi plastiknya sekitar 40 kg per kapita per tahun, tidak punya masalah pencemaran lingkungan seperti Indonesia karena memiliki manajemen persampahan lebih rapi.
Menurutnya, manajemen pengelolaan sampah merupakan solusi yang tepat untuk masalah pencemaran lingkungan akibat plastik. Penerapan cukai tidak serta merta mengurangi produksi.
Sementara itu upaya daur ulang sudah menjadi program industri besar. Kendati begitu, menurutnya daur ulang sudah dilakukan oleh industri secara keseluruhan dengan dibantu para pemulung. "Makanya pemulung semangat, karena ada nilainya. Karena kita pakai lagi," katanya.
Pemerintah berencana menerapkan cukai pada plastik ini pada tahun depan. Menurut Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Heru Pambudi menjelaskan saat ini pihaknya masih membahas teknis penerapan cukai ini dan dampaknya kepada industri. Apabila kebijakan ini disetujui, pemerintah akan mengalihkan produsen plastik yang selama ini masih mengandalkan penghasilannya dari kantong plastik yang tidak ramah lingkungan menjadi ramah lingkungan.
"Itu termasuk dalam roadmap yang kita siapkan. Jangan sampai kemudian di satu sisi lingkungan kita bisa teratasi, tapi menimbulkan dampak dari sisi lain," ujar Heru.