REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Sukron Kamil mengatakan bahwa berdasarkan hasil berbagai survei, saat ini terdapat kecenderungan menguatnya intoleransi dan radikalisme di kalangan millenial. Menurut dia, saat ini tidak sedikit kaum millenial yang intoleran terhadap kaum minoritas di Indonesia.
"Dari berbagai riset ada kecenderungan menguatnya intoleransi dan radikalisme di kalangan millenial," ujar Sukron saat menjadi pembicara diskusi yang digelar Institute Demokrasi Republikan di Tendean, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (30/11).
Sukron menuturkan, berdasarkan riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, diungkapkan bahwa 51 persen mahasiswa muslim intoleran terhadap kaum muslim minoritas seperti Syiah dan Ahmadiyah. Selain itu, sebanyak 58,5 persen mahasiswa muslim juga mempunyai pandangan radikal.
"Temuan-temuan dari Alvara Institute, dari riset PPIM UIN Jakarta, menyebut 51 persen mahasiswa muslim intoleran terhadap kaum muslim minoritas," jelasnya.
Sukron mengaku lebih suka menyebut kalangan millenial yang demikian itu sebagai kaum fundamentalis, karena mereka hanya memandang agama secara harfiah saja. Menurut dia, mereka sering salah kaprah terait perkara sunnah dan wajib.
Dia mengatakan bahwa kaum fundamental itu juga memiliki tujuan untuk membuat negara Islam di Indonesia. Untuk mencapai tujuannya, kata dia, mereka bekerjasama dengan pemerintah dan juga partai atau kelompok yang memiliki semangat yang sama.
"Yang formal ada HTI dan MMI di mana mereka mau bikin negara Islam dengan ideologi khilafah. Fundamentalisme jihadis di mana mereka mau bikin negara Islam tapi menjadikan masyarakat sebagai musuh," katanya.
Sukron mengajak kepada semua pihak untuk melawan gerakan-gerakan yang pemahaman keagamaannya terlalu tekstual tersebut. Karena, menurut dia, saat ini dakwah yang dilakukan gerakan-gerakan tersebut kerap menyebarkan narasi khilafah.
"Kita harus sudah mulai melawan dengan gerakan-gerakan. Jangan pasif. Makanya tanpa itu akan bahaya karena mereka sendiri sudah tersistematis dan pesantren-pesantren yang cenderung ke HTI sudah sangat banyak sekali," jelasnya.
Sementara itu, Kabid Kajian Strategis Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), Mohammad Nuruzzaman menjelaskan bahwa saat ini kalangan millenial sangat mudah untuk menyandang gelar ustadz. Padahal, pemahaman keagamaannya masih dangkal, sehingga dapat menyesatkan umat.
"Orang mudah jadi ustadz. Asal bisa hapal Alquran, dan ramai di media sosial dia sah jadi ustadz. Padahal saya yang mondok bertahun-tahun sampai hafal alfiyah dan sebagainya tidak berani pimpin shalat dan saya lebih mendahulukan yang lebih tua. Itu tradisi santri," katanya.
Dia mengatakan, kalangan millenial saat ini kebanyakan hanya belajar agama melalui media sosial. Menurut dia, data ini bisa dicek lewat situs-situs keagamaan yang pengunjungnya per bulan bisa mencapai 7 juta. Sementara, kata dia, situs-situs yang menjadi rujukan kalangan millenial tersebut intoleran dan cenderung radikal.
"Generasi milenial ini pengetahuan agamanya berasal dari media sosial," jelasnya.