REPUBLIKA.CO.ID, JAMBI -- Senja mulai disambut malam, bunyi jangkrik dan binatang hutan mulai terdengar bersahutan. Tim Corps Dai Dompet Dhuafa (Cordofa) dan Insan Madani akhirnya sampai jua di perkampungan Suku Anak Dalam (SAD) yang berada dalam wilayah Desa Sungai Lingkar, Kecamatan Muaro Sebo Ulu, Kabupaten Batanghari, Propinsi Jambi. Tim merasakan perjalanan yang cukup menantang dan memacu adrenalin untuk sampai ke wilayah yang dihuni suku asli Jambi ini, awal November lalu.
Siaran pers Cordofa yang diterima Republika.co.id, Jumat (30/11) menyebutkan, setidaknya butuh ensm jam perjalanan dari Kota Jambi, dengan menggunakan kendaraan roda dua atau empat untuk bisa mencapai kampung yang dihuni sekitar 35 KK dengan 145 Jiwa ini. Semua penduduk kampung itu sudah menjadi Muslim
"Mobil offroad dan motor trail menjadi andalan rombongan untuk dapat melewati jalan tanah nan berlumpur. Berulang kali ban mobil mengalami selip dan motor terjatuh. Setelah menyebrangi sungai dan melewati hutan akhirnya sampai juga di kawasan tersebut," kisah Hardy Agusman, dari Cordofa, Jakarta.
Anak-anak Suku Dalam Jambi menunjukkan kegembiraan mereka mendapatkan hadiah sepatu.
Hardy menambahkan, rasa letih serasa hilang ketika melihat senyum sumringah anak-anak SAD yang antusias mengaji di mushala. Tidak hanya anak-anak, masyarakat pun berkumpul untuk bertemu sapa dengan rombongan.
“Kehadiran kami di sini untuk silaturahim dan berbagi kebahagiaan kepada ibu, bapak serta adik-adik. Selain membawa makanan, ada donasi sepatu dari PERMITHA (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Thailand) dan Sahabat Cita. Semoga berkah untuk para donatur,” ucap Hendra dari Insan Madani dalam sambutannya.
Masyarakat SAD berduyun datang ke mushala untuk shalat maghrib berjamaah. Seusai shalat, tausiyah dan shalawat menjadi rutinitas untuk menguatkan keimanan. Pemandangan indah dalam dekapan ukhuwah.
Warga Suku Anak Dalam Jambi di depan rumah mereka.
Hardy melihat, mmasyarakat SAD hidup dalam keterbatasan, terutama untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari. “Dulu, setiap kami lapar, kami tinggal berburu (babi) yang banyak berkeliaran. Tapi setelah kami bersyahadat, kami tahu kalau itu dilarang. Makanya makin besar ujian hidup kami, Pak,” curahan Maris yang merupakan ketua adat.
“Terharu rasanya, melihat dan merasakan perjuangan Ibu Bapak dalam mempertahankan keimanan di tengah keterbatasan. Kami belum tentu sanggup melewatinya. Mungkin ini cara Allah menunjukkan kuasanya, agar kita peduli sesama,” ujar Hardy.
Hardy mengemukakan, potensi di Desa Sungai Lingkar cukup baik. “Tanah yang subur dan Sekolah Rimba menjadi potensi yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan masa depan pendidikan anak-anak,” tuturnya.