REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Aktivis muda Myanmar dan pembawa acara televisi, Thinzar Shun Lei Yi, telah menyebut dirinya sebagai salah satu penggemar berat pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi. Namun kini ia berbalik menjadi salah satu pengkritiknya yang paling vokal.
Pria berusia 27 tahun itu termasuk dalam kelompok aktivis liberal kecil namun berprofil tinggi. Banyak mantan pendukung Suu Kyi yang semakin kecewa dengan pemerintahan yang mereka pilih dengan harapan setinggi langit tiga tahun lalu.
"Saya kehilangan idola saya, saya bingung, frustrasi, dan tersesat," kata Thinzar Shun Lei Yi, yang membawakan acara talk show 'Under 30' di situs lokal.
"Sebagian besar aktivis dan anak muda saat ini berpikir: 'Selanjutnya apa?', 'Apa yang akan terjadi?', 'Apa yang bisa kita lakukan?' Pada tahap ini, Aung San Suu Kyi berjalan dengan caranya sendiri dan tidak ada yang dapat campur tangan, dan dia tidak akan mendengarkan organisasi masyarakat sipil," papar dia.
Meski Suu Kyi masih menginspirasi rakyat biasa di Myanmar, aktivis muda justru memunculkan gerakan perlawanan yang didorong oleh kemarahan atas perlakuan pemerintah terhadap etnis minoritas, termasuk Muslim Rohingya, serta pembatasan terhadap media dan masyarakat sipil. Gerakan itu tentu memberikan tantangan baru bagi pemerintahan Suu Kyi.
Muslim Rohingya tiba di Desa Thae Chaung, Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Rabu (21/11).
Yang dipertaruhkan adalah masa depan transisi Myanmar menuju demokrasi setelah bertahun-tahun berada di bawah pemerintahan militer. Menjelang pemilihan umum pada 2020, pemerintahan sipil pertama di negara itu dalam beberapa dasawarsa ini dihadapkan oleh perpecahan yang berkembang di kalangan aktivis yang pernah bersatu dalam Partai National League for Democracy (NLD) milik Suu Kyi.
Juru bicara NLD Myo Nyunt mengatakan partai itu tengah berusaha untuk mendapatkan suara dari kalangan muda, dengan meningkatkan anggaran untuk pendidikan dan mendukung program pelatihan kejuruan. "Para pemuda dan orang-orang mengharapkan banyak dari pemerintah kami. Kami tidak bisa memenuhi harapan mereka, kami akui. Tapi kami melakukan yang terbaik," kata Myo Nyunt.
Suu Kyi mengambil alih kekuasaan pada 2016 setelah berhasil memenangkan pemilihan umum. Ia berjanji untuk melanjutkan reformasi demokratis dan mengakhiri perang saudara yang telah berlangsung lama di negara itu.
Sejak itu, pemerintahan Suu Kyi justru mendapat tekanan atas tanggapannya terhadap aksi kekerasan militer terhadap minoritas Rohingya yang oleh PBB digambarkan sebagai aksi pembersihan etnis dengan genosida. Suu Kyi juga tak berbuat apa-apa terkait pembicaraan damai dengan kelompok-kelompok etnis bersenjata dan terjadi stagnasi ekonomi.
Kelompok aktivis mengatakan pemerintah sipil Myanmar juga menjadi semakin otoriter. Pemerintah gagal menggunakan mayoritas parlementernya untuk menghapus undang-undang era kolonial yang digunakan untuk melumpuhkan perbedaan pendapat, dan justru semakin memperketat pembatasan pada masyarakat sipil.
Menurut organisasi kebebasan berbicara, Athan, sebanyak 44 wartawan dan 142 aktivis sedang menghadapi persidangan sejak pemerintahan Suu Kyi mengambil alih kekuasaan. Pendiri organisasi itu, Maung Saung Kha, adalah salah satunya. Dia ditangkap bersama Thinzar Shun Lei Yi dalam aksi protes pada Mei lalu. Empat bulan kemudian, pada September, mereka berdua membantu merencanakan aksi demonstrasi lain, kali ini untuk memperjuangkan kebebasan berbicara.
Meskipun tidak memiliki kendali atas militer, Suu Kyi telah menghadapi kecaman internasional karena gagal membela Rohingya. Lebih dari 730 ribu warga Rohingya melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine barat pada 2017.
Myanmar menyangkal semua tuduhan kekejaman terhadap pengungsi, dan mengatakan tentaranya telah melakukan kampanye yang sah terhadap teroris. Meski banyak di antara mayoritas Buddha Myanmar yang mencerca Rohingya, para aktivis muda justru memberikan rasa simpati.
"Kami mengakui Rohingya. Kami benar-benar mencela fakta bahwa mereka disebut sebagai 'Bengali'," kata Maung Saung Kha.