REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Usai sudah rangkaian acara Reuni 212 yang berpusat di area Monumen Nasional (Monas), Jakarta. Sebelumnya, massa dari pelbagai daerah sudah berdatangan ke lokasi acara bahkan sejak Sabtu (1/12) malam. Mereka mengadakan shalat Subuh berjamaah di sana. Puncaknya, jutaan orang hadirin meramaikan Monas dan sekitarnya sejak pagi hingga petang hari Ahad (2/12).
Peristiwa itu tentu memiliki makna di masing-masing hadirin. Salah seorang di antara mereka adalah Haryadi Budi Susanto. Pria yang berusia 39 tahun itu memilih untuk mengisi hari libur dengan menjadi peserta aksi Reuni 212. Kepada Republika.co.id, dia mengirimkan foto. Dengan wajah gembira, alumnus S-3 Tohoku University (Jepang) itu tampak sedang mengibarkan bendera bertuliskan kalimat Tauhid hitam dengan latar putih di jalan menuju Monas.
“Iya, saya seharusnya masih ada urusan bisnis di Bali hari ini, tetapi saya putuskan segera pulang karena mau hadir di Reuni 212 ini,” kata Haryadi Budi Susanto saat dihubungi, Ahad (2/12) malam.
Dia mengaku konsisten mengikuti setiap aksi massa Muslimin yang diselenggarakan sejak terbentuknya Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) MUI pada 2016. Seperti diketahui, gerakan tersebut merupakan respons dari kontroversi yang bermula dari kata-kata Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang dinilai telah melecehkan agama Islam.
“Pada 2016, saya ikut turun di setiap demo di Monas. Dan puncaknya pada Reuni 212 ini,” katanya.
“Getarannya masih terasa sampai sekarang. Oleh karena itu, saya tidak mau ketinggalan pada reuni ini,” imbuh alumnus Pondok Pesantren Budi Mulia (PPBM) itu.
Haryadi Budi Susanto, salah seorang peserta reuni 212.
Haryadi mengungkapkan, dirinya bersemangat untuk mengikuti aksi 212 karena berpihak pada ukhuwah Islam. Ketika setiap Muslim meninggalkan kepentingan pribadi dan golongannya untuk membela martabat agama ini, harapannya Allah mengizinkan tegaknya persatuan umat Islam, serta melindungi dan merahmati Indonesia sebagai tempat tinggal mereka.
Haryadi kemudian teringat pada cerita klasik tentang seekor burung pipit di zaman Nabi Ibrahim AS.
Dikisahkan bahwa seekor burung pipit menyaksikan detik-detik menjelang eksekusi Nabi Ibrahim oleh Raja Namrudz dan para pendukungnya.
Walaupun bertubuh kecil, burung pipit itu berupaya keras untuk menolong sang nabi agar tidak terbakar api. Dia pun terbang bolak-balik dari sumber air terdekat ke lokasi eksekusi. Setiap tiba ke dekat api unggun, dia membuka paruhnya agar air yang dikumpulkannya menyiram tubuh sosok mulia tersebut. Harapannya, api yang membakar Nabi Ibrahim dapat padam.
Akhirnya, Allah SWT sendiri memerintahkan api agar menjadi dingin, sehingga keselamatan atas diri Nabi Ibrahim. Haryadi menilai, seseorang dapat mengambil hikmah dari cerita ini, yaitu keberpihakan pada kebenaran, selemah atau sekecil apa pun kontribusi yang dilakukan.
“Cerita burung pipit pada zaman Nabi Ibrahim sangat menginspirasi saya. Alasan dia adalah agar Allah mencatat di pihak mana burung pipit itu berdiri,” ujarnya.