Selasa 04 Dec 2018 13:35 WIB

Kajian KPK: Parpol Idealnya Dibiayai oleh Negara

Pemerintah sudah menaikan bantuan dana parpol dari Rp 108 menjadi Rp 1.000 per suara.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Presiden Joko Widodo (kanan) berbincang dengan Ketua KPK Agus Rahardjo (tengah) dan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif ketika menghadiri peringatan Hari Anti Korupsi Dunia (Hakordia) 2018 di Jakarta, Selasa (4/12/2018).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Presiden Joko Widodo (kanan) berbincang dengan Ketua KPK Agus Rahardjo (tengah) dan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif ketika menghadiri peringatan Hari Anti Korupsi Dunia (Hakordia) 2018 di Jakarta, Selasa (4/12/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengakui bantuan pemerintah untuk pendanaan partai politik (parpol) saat ini belum ideal. Diketahui, pemerintah sudah menaikkan bantuan dana parpol dari Rp 108 per suara menjadi Rp 1.000 per suara.

"Bagian saya yang saya tahu soal partai. KPK sudah mengeluarkan kajian, dalam kajian itu sebaiknya partai dibiayai negara," kata Agus di Hotel Bidakara Jakarta, Selasa (4/12).

Dari hasil kajian yang dilakukan, sambung Agus, KPK merekomendasikan agar parpol mendapat dana bantuan dari pemerintah antara Rp 1.000 hingga 10.000 per suara. Jumlah ini pun kata Agus belum ideal untuk membiayai seluruh kebutuhan partai.

"Juga sebetulnya harus ada keputusan kalau kemudian misalkan ada dana dari negara yang mengalir ke partai dengan jumlah signifikan cukup untuk membiayai partai kemudian syukur-syukur pembiayaan yang lain harus distop," tutur Agus.

"Selanjutnya kalau memang itu full dibiayai negara implikasinya adalah ya auditnya harus dalam sekali kemudian dikeluarkan dan diumumkan kepada seluruh masyarakat. itu tahap-tahap yang perlu dilalui, tapi emang untuk menuju ke sana belum kelihatannya karena baru Rp 1.000 per suara. Masih memerlukan dana yang besar sekali," tambah Agus.

Sementara Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, secara umun di sebuah negara ada dua konsep. Pertama, adalah negara dengan parpol dibiayai penuh oleh negara. Kemudian yang kedua, lanjut Agus, bantuan pemerintah hanya sejumlah, yang memeriksa pun ada dari audit BPK.

"Dibiayai penuh oleh negara, A sampai Z sehingga auditnya yang harus dipertanggungjawabkan dengan baik. Di negara  kita iuran anggota tidak ada, diterapkan tapi tidak pernah bisa," tuturnya.

Tjahjo menambahkan, bila diibaratkan, biaya parpol ibarat makan siang, maka menu politik tidak ada harganya. "Kalau di warung nasi padang jelas (biaya), ikan berapa, telur berapa. Kalau di politik menu tuh nggak bisa (dikira biaya)," ujar Tjahjo.

Tjahjo pun tak memungkiri pembiayaan partai politik amatlah besar. "Pembiayaan parpol itu luar biasa, saya mengalami dari sekretaris fraksi sampai sekjen parpol itu wah ampunnya, tapi kita gotong royong, memang," ungkapnya.

"Kami dukung seseorang jadi gubernur misalnya, tanya uangmu berapa? Wah Rp 1 miliar, yang lain gotong royong bisa melebihi Rp 50 miliar. Jadi ini sistem kita yang harus kita ikuti dan joke-nya pekerjaan yang paling enak di dunia, itu anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Di dunia loh bukan di Indonesia. Mau datang tidak datang boleh, mau teriak-teriak, mau maki-maki boleh, mau maki-maki KPK juga boleh itu nggak masalah," tambahnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement