REPUBLIKA.CO.ID, Ketegasan para pemimpin di masa dinasti Islam turut menentukan terjaganya masyarakat dari hal-hal yang haram dan merugikan.
Irene Beeson dalam Cairo: A Millennial mencatat, peredaran alkohol berupaya terus ditekan pada zaman Sultan al-Hakim dari Dinasti Fatimiyah di awal abad 11.
Ia juga memerintahkan penghancuran tempat pengolahan anggur untuk minuman keras atau untuk produksi kismis ilegal dan permainan yang mengandung unsur taruhan.
Paulina Lewicka dalam bukunya Food and Foodways of Medieval Cairenes: Aspects of Life in an Islamic Metropolis of the Eastern Mediterranean mengungkapkan di akhir era Dinasti Fatimiyah (909-1171 M), dibentuk sistem pengawasan terhadap penerapan syariat di masyarakat.
Di masa yang juga merupakan awal masa Kesultanan Salahuddin al-Ayyubi (1171 -- 1252 M) di Kota Fustat atau Cairenes (Kairo saat ini), terdapat petugas pemerintah yang bertugas melakukan inspeksi pasar atau muhtasib. Sistem ini juga dikenal dikota lain seperti Seville.
Muhtasib dilatih mengenali berbagai bahan atau proses yang dilarang Alquran, seperti produksi dan peredaran alkohol. Anggur dari luar Kota Fustat diimpor semi-legal.
Mereka juga dibekali buku panduan inspeksi, hisba. Dalam hisba juga dicatat para kepala pedagang dan informasi teknis penanganan malpraktik perdagangan.
Pada praktiknya, muhtasib tak hanya menginspeksi pasar, tapi juga bertanggungjawab atas berfungsinya infrastruktur kota dengan baik.
Namun, penyimpangan seperti penjualan serta konsumsi anggur dan babi serta penggunaan alat masak dari emas dan perak terjadi di era beberapa sultan.
Catatan para penjelajah Eropa antara abad 12 hingga 16 secara beragam, menyebut tentang kemudahan mendapat minuman beralkohol seperti anggur di Mesir ketika itu. Ada yang mudah ada pula yang tidak menemukannya sama sekali.