Rabu 05 Dec 2018 01:47 WIB

Komnas HAM: Pembantaian di Nduga Pelanggaran HAM Serius

Para petinggi OPM mengklaim pembantaian pekerja di Nduga tidak mewakili OPM

Personil TNI menyiapkan peti jenazah untuk korban penembakan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Kabupaten Nduga, di Kodim 1702 Jayawijaya, Wamena, Papua, Selasa (4/12/2018).
Foto: Antara/Marius Frisson Yewun
Personil TNI menyiapkan peti jenazah untuk korban penembakan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Kabupaten Nduga, di Kodim 1702 Jayawijaya, Wamena, Papua, Selasa (4/12/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, JAYAPURA -- Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Provinsi Papua Frits B Ramandey menilai peristiwa pembunuhan massal para pekerja jalan dan jembatan pada sejumlah tempat di Kabupaten Nduga merupakan pelanggaran HAM serius. Komnas HAM mengkategorikannya sebagai pelanggaran HAM yang serius, karena ini perbuatan kriminal.

"Nah, terkait dengan peristiwa ini, maka tidak ada pilihan lain kecuali tindakan kelompok kriminal bersenjata itu, dengan akibat dari tindakan mereka ini terjadi pelanggaran HAM yang serius," katanya, di Kota Jayapura, Papua, Selasa (4/12).

Baca Juga

Menurut Frits, peristiwa pembunuhan massal ini bukan disebut pelanggaran HAM berat, karena peristiwa ini dilakukan oleh kelompok sipil bersenjata. "Karena kalau kita melihat kronologisnya, ini ada yang memberikan perintah atau komando kepada mereka. Memerintahkan mereka, menyuruh mereka dan ada yang memimpin pengejaran itu sehingga terjadi tragedi ini di beberapa tempat, paling tidak di tiga tempat sebagaimana laporan sementara," katanya pula.

Menurut dia, harus ada upaya pemulihan dari tindakan tersebut sekaligus mengesahkan tindakan dari aparat keamanan untuk harus segera hadir di Nduga guna melakukan tindakan penegakan hukum.

Kenapa tindakan penegakan hukum harus dilakukan. Menurutnya, pertama, dalam mencari dan menangkap pelaku dan siapa aktorynya. Yang kedua, adalah memastikan masyarakat di Distrik Yall dan distrik lainnya terhindar dari intimidasi yang berkepanjangan, katanya lagi.

Apalagi, ujarnya pula, jika berkaca dari kasus sebulan lalu, ada pekerja kemanusiaan, yakni para guru diintimidasi dan diperkosa serta kini kabar yang terbaru adalah pembantaian massal kepada para pekerja.

"Jadi, ada dua unsur yang terpenuhi di sana, pertama mengacu pada UU 39 Tahun 1999 tentang HAM, pasal 1 ayat 6 bahwa perbuatan seseorang atau sekolompok orang yang mengakibatkan hilang nyawa seseorang adalah perbuatan pelanggaran HAM," katanya pula.

Kedua, lanjut mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jayapura itu, akibat dari tindakan tersebut, berujung terhambat pelayanan publik dalam rangka pemenuhan ekonomis sosial dan budaya (ekosob) masyarakat di Distrik Yall dan lainnya di Nduga.

"Karena para pekerja itu sedang mengerjakan jalan dan jembatan yang sangat penting untuk mobilisasi dan menjawab kebutuhan warga di Nduga. Jadi, kehadiran aparat keamanan di sana merupakan representasi kehadiran negara," katanya lagi.

Yang berikut adalah perlu dukungan langsung dari kepala daerah, kepala distrik, kepala kampung, DPR, adat dan tokoh agama serta masyarakat yang bekerjasama dengan aparat keamanan untuk mengidentifikasi persoalan ini, siapa saja yang telibat atau pelakunya guna mempertanggungjawabkan peristiwa tersebut.

"Saya percaya kepada TNI dan Polri. Mereka mempunyai kemampuan yang profesional guna penegakan hukum dengan menggunakan standar yang baik, standar pemulihan keamanan yang baik dan benar, sehingga tidak ada korban baru atau korban yang bukan pelaku," ujarnya pula.

Menurutnya, hal lainya adalah seluruh korban kekerasan tersebut harus dibawa jasadnya untuk kemudian diserahkan kepada keluarga dan dikebumikan secara baik. "Soal ini merupakan tanggung jawab aparat keamanan, pemerintah daerah dan masyarakat untuk penghormatan kepada para pekerja, penghormatan kepada hak hidup masyarakat yang sudah meninggal dunia," katanya lagi.

Bukan OPM

Frits yang juga majelis di Gereja GKI Maranatha Polimak I, Kelurahan Ardipura, Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura berhasil mengkonfirmasi sejumlah tokoh penting dalam kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) terkait penembakan para pekerja di Nduga.

"Komnas HAM lakukan cek kepada beberapa pimpinan OPM, dan mereka sampaikan bahwa itu bukan aksi mereka (OPM, Red) karena Organisasi Papua Merdeka tidak pernah memberi perintah kepada anggotanya untuk melakukan pembunuhan secara sadis seperti itu," katanya pula.

Para petinggi OPM itu, kata dia, menolak jika hal itu diklaim sebagai bentuk perjuangan karena aksi di Nduga merupakan tindakan kriminal dan tidak mewakili OPM. "Dengan tegas mereka (OPM, Red) mengaku itu bukan aksi mereka, itu kriminal," katanya lagi.

Yang berikut, lanjut Frits, hal yang harus diingat adalah seluruh gerakan pembebasan apa pun namanya itu, baik tindakam kekerasan, kriminal, dan membunuh sudah pasti tidak akan meraih atau mendapatkan simpati dunia.

"Ini menjadi penting dan tindakan balas dendam hanya melahirkan dendam baru, persoalan baru dan tidak bisa selesaikan masalah. Saya pikir semua orang, kalau anda berdalil, siapa yang pegang senjata atau mereka dapat amunisi dari mana. Itu hanya menyesatkan," katanya.

Dalam catatan Komnas HAM, kelompok sipil bersenjata tersebut pernah melakukan pencurian, pembunuhan dan perampasan senjata, bahkan jika ingat beberapa tahun lalu ada ada pembongkaran gudang senjata dan ada peluru yang dibawa. Belum lagi ada yang barter untuk pembelian amunisi secara ilegal di beberapa tempat yang menunjukkan upaya dari kelompok kriminal.

"Nah kalau kita lihat di wilayah itu sebenarnya yang menjadi penanggungjawab adalah Egianus Kogoya, tapi sebenarnya juga ada satu sel baru yang dipimpin oleh seorang yang juga bermarga Kogoya. Saya lupa nama lengkapnya, nanti kalau ingat akan saya sampaikan," katanya.

Mengenai kabar adanya seorang prajurit TNI yang gugur akibat penyerangan Pos di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga tak jauh dari lokasi para pekerja jalan dan jembatan tewas, Frits mengaku belum mendapat informasi.

"Namun, info yang beredar bahwa ada pekerja yang memfoto kegiatan acara 1 Desember para pelaku, kemudian terjadilah pembunuhan itu. Padahal kalau hanya alasan memfoto, kenapa para pelaku itu tidak mengambil atau meminta agar foto tersebut dihapus filenya, tapi ini kemudian dilakukan pengejaran dan pembunuhan secara sadis di beberapa tempat hingga korban jiwa mencapai puluhan orang.

Ketika disinggung apakah penembakan itu ada motif ekonomi, alumni Kampus STISIPOL Silas Papare, Kota Jayapura itu mengatakan bahwa itu seharusnya urusan lain. "Tapi bahwa ada tindakan membabi-buta dan puluhan pekerja tewas, saya pikir ini perbuatan keji. Kalau biadab itu satu dua orang yang lakukan, ini keji karena diduga banyak orang yang lakukan. Karena itu atas nama kemanusiaan itu kita wajib mengutuk keras perilaku ini," katanya lagi.

Frits menegaskan bahwa Komnas HAM Papua tidak perlu mengirim tim untuk ke Nduga guna memastikan peristiwa itu pelanggaran HAM serius atau bukan, karena hal itu merupakan perbuatan kriminal murni yang menjadi otoritas sipil, sehingga pemerintah setempat dibantu TNI dan Polri yang akan menegakkan hukum.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement