REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Perdana Menteri Inggris Theresa May mengalami kekalahan telak dalam perdebatan yang akan berlangsung selama lima hari tentang rencana kesepakatan Brexit. Kesepakatan itu menentukan Brexit dan nasib pemerintahannya di masa depan.
May ingin parlemen menyetujui kesepakatan yang ia buat untuk tetap memiliki hubungan baik dengan Uni Eropa setelah keluar dari organisasi tersebut pada Maret 2019 mendatang. Tapi lawan-lawannya, para pendukung, dan mereka yang menentang Brexit pun berusaha menggagalkan kesepakatan tersebut.
"Kami perlu menyampaikan Brexit yang menghormati keputusan rakyat Inggris, argumen ini sudah cukup lama merusak politik dan kehidupan kami yang bergantung pada kompromi,” kata May kepada parlemen Inggris, Rabu (5/12).
Pada debat hari pertama sebelum pemungutan suara pada 11 Desember mendatang pemerintahan May menemukan perlawanan yang tidak hormat dari parlemen. Kini ia mengatahui partai pengusungnya Partai Konservatif akan dapat memiliki kekuasaan di House of Common jika rencana kesepakatan May digugurkan.
Hal ini dapat membuat Inggris tidak memiliki kesepakatan sama sekali dengan Uni Eropa. Perdebatan terakhir dan pemungutan suara pada 11 Desember akan menentukan perubahan perdagangan dan hubungan internasional Inggris paling besar dalam 40 tahun terakhir.
Rencana kesepakatan May rentan berubah di akhir perdebatan. May mengatakan jika anggota parlemen tidak mendukung rencana kesepakatannya maka mereka membuka pintu entah itu Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa tindakan yang tepat untuk menjalani masa transisi yang mulus atau kemungkinan Brexit sama sekali tidak terjadi.
Oposisi pemerintah yaitu Partai Buruh mengatakan May harus membuat kesepakatan yang lebih baik lagi atau mengundurkan diri, biarkan Partai Buruh yang memimpin pemerintahan Inggris.
"Kami masih belum tahu seperti apa hubungan jangka panjang kami dengan Eropa dan itulah mengapa begitu banyak anggota parlemen yang tidak mau memilih untuk Brexit dengan mata tertutup dan mengambil langkah dalam kegelapan untuk memutuskan masa depan Inggris," kata Ketua Partai Buruh Jeremy Corbyn.
Khawatir Brexit tanpa kesepakatan sama sekali, sekelompok anggota parlemen dari Partai Konservatif yang kebanyakan pro-Uni Eropa memenangkan pemungutan suara yang membuat parlemen memiliki kekuatan lebih besar lagi untuk memutuskan langkah selanjutnya jika rencana May gagal. Bagi mereka mungkin ada solusi lain.
"Pilihan yang salah untuk mengatakan kesepakatan Perdana Menteri atau kacau, kami harus melihat semua pilihan yang ada dan tidak terkotakkan dengan garis merah kami sendiri," kata Sam Gyimah yang mengundurkan diri dari Menteri Sains karena kesepakatan Brexit.
Mahkamah Agung Eropa memberi nasihat resmi kepada anggota parlemen Inggris, salah satu pilihannya adalah mencabut Pemberlakuan Pasal 50 Perjanjian Uni Eropa oleh Inggris. Nasihat resmi itu tidak mengikat tapi sering menjadi bahan perhatian.
Pemberlakuan Pasal 50 ialah proses penyampaian surat pemberitahuan resmi kepada Dewan Uni Eropa tentang niatan sebuah negara anggota untuk keluar dari organisasi internasional tersebut sehingga negosiasi pencabutan keanggotaan dapat dimulai sesuai Perjanjian Uni Eropa. Tapi juru bicara May mengatakan tidak ada peristiwa yang membuat pemerintah Inggris mencabut Pasal 50.
Jika ternyata rencana kesepakatan Brexit May menang pada pemungutan suara 11 Desember maka Inggris resmi keluar dari Uni Eropa pada 29 Maret mendatang sesuai dengan kesepakatan yang telah ia negosiasikan di Brussel. Jika kalah maka ia bisa meminta ada pemungutan suara kedua.
Tapi kekalahannya akan membuat kemungkinan Inggris meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan apa-apa semakin tinggi. Hal itu akan berakibat buruk pada perekonomian dan bisnis Inggris. Selain itu, tekanan May untuk mengundurkan diri juga akan semakin menguat.