REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis (FSPBS) menentang rencana pemerintah yang membuka keran penanaman modal asing (PMA) hingga 100 persen. Menurut Ketua Umum FSPBS, Wisnu Adi Wuryanto,
penguasaan sepenuhnya oleh pihak luar ini di duga akan terjadi seiring rencana relaksasi daftar negatif investasi (DNI) pada 25 bidang usaha seperti telekomunikasi, energi dan sumber daya mineral (ESDM), kesehatan, dan pariwisata.
Wisnu menyontohkan, pemerintah akan memberlakukan ini terhadap pembangkit listrik di atas 10 megawatt. "Jadi 30, 50, 100 MW bisa 100 psersen (milik asing)," ujar Wisnu kepada wartawan, Rabu (5/12).
Menurut Wisnu, kebijakan ini sangat liberal bahkan bisa mengancam kedaulatan bangsa pada bidang-bidang tersebut. Ia menai, dalih penarikan investasi asing, kata dia, tidak bisa dibenarkan jika berpotensi menggerus kemandirian bangsa yang berdampak terhadap melonjaknya harga di masyarakat.
"Kalau ini dibiarkan, kepemilikan asing bisa 100 persen," katanya.
Wisnu meminta, rencana ini jangan terjadi terutama pada bidang-bidang strategis seperti telekomunikasi dan ESDM. Karena, berdasarkan UUD 1945 pemerintah harus memegang kendali arah perkembangan dan kepemilikan telekomunikasi dan ESDM. "Ini penting untuk memastikan sumber daya yang ada bisa dimanfaatkan oleh masyarakat," katanya.
Pembukaan kran investasi asing ini, menurut Wisnu, memang tidak akan langsung terasa dalam jangka waktu yang pendek. Namun, dampaknya akan dirasakan pada beberapa tahun kemudian.
"Mati pelan-pelan," katanya.
Wisnu mencontohkan, ia khawatir akan terjadi monopoli saat asing menguasai 100 persen usaha telekomunikasi dan ESDM.
"Nanti HP-nya, device-nya, kabelnya, networknya, milik perusahaan luar yang kolaborasi terus datang ke sini. Kalau kita bergantung, maka harga bisa dimainkan," katanya.
Hal tersebut, kata dia, akan terjadi pada sektor ESDM. Selain berpotensi mengundang monopoli, langkah ini pun akan membunuh perusahaan lokal yang seharusnya bisa menjadi kebanggaan bangsa. "Kami khawatir nantinya perusahaan lokal akan terkooptasi oleh asing. Ini berbahaya, pemerintah jangan lakukan ini," katanya.
Senada dengan Wisnu, Ketua Umum Serikat Pekerja Telkom Asep Mulyana mengatakan, pembukaan kran investasi asing hingga 100 persen ini tidak dilakukan negara-negara lain. Sebagai contoh, Australia menguasai mayoritas kepemilikan perusahaan telekomunikasi di negara tersebut.
"Australia, backbone-nya dimiliki negara. Juga Malaysia, membikin perusahaan telekomunikasi untuk dikuasai," katanya.
Ditempat yang sama, Sekretaris Jenderal FSPBS Hadi Karya mengatakan, pemerintah pun harus hati-hati terhadap investasi asing yang masuk meski tidak menguasai hingga 100 persen. Ia tidak ingin peristiwa yang dialami PT Telkom pada 1995 kembali terulang.
Saat itu, kata dia, BUMN telekomunikasi itu mendapat suntikan segar dari pihak asing. Namun, dana yang diberikan merupakan pinjaman dari bank-bank yang berada di dalam negeri.
"Asing investasi, tapi bukan bawa uang. Mereka dapat pinjaman dari bank-bank milik kita. Jadi apa artinya? Kan enggak ada investasi masuk," katanya.
Selain itu, Hadi menilai saat ini industri dalam negeri tidak terlalu kuat karena belum menguasai teknologi dengan baik. Sehingga, jika kepemilikan pun lemah, maka tinggal menunggu waktu sebelum akhirnya tergerus.